JAKARTA, beritapalu.ID | Mahkamah Konstitusi (MK) RI telah menjatuhkan Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang membatalkan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. MK menetapkan frasa tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam pertimbangannya, MK berpendapat bahwa “jabatan” yang mengharuskan anggota Polri mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian. Merujuk UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 20/2023), jabatan tersebut adalah jabatan ASN yang terdiri atas jabatan manajerial dan jabatan non manajerial.
Merespons putusan tersebut, Sekretaris Jenderal Koalisi Indonesia Aman Ramah dan Adil (KIARA), Susan Herawati, memberikan apresiasi kepada Majelis Hakim MK. Menurut Susan, putusan ini memberikan angin segar mengingat banyaknya polisi aktif yang menjabat di kementerian atau lembaga lain di luar institusinya.
“Putusan ini mengakui ketidakpastian hukum yang ditimbulkan dari perumusan pasal yang diuji, baik dalam pengisian jabatan bagi anggota Polri di luar kepolisian maupun ketidakpastian hukum bagi karier ASN di institusi lain,” jelas Susan.
Lebih lanjut, KIARA mengemukakan lima poin pernyataan sikapnya terhadap putusan MK tersebut. Pertama, masalah utama dwifungsi Polri bukan hanya ketidakpastian hukum, tetapi juga dampaknya pada pelayanan publik yang seharusnya diberikan oleh kementerian atau lembaga terkait kepada masyarakat.
KIARA mencatat bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) merupakan salah satu kementerian yang memiliki cukup banyak perwira Polri aktif di jabatan strategis. Berdasarkan pencatatan KIARA tahun 2025, terdapat 1 Perwira Menengah dan 3 Perwira Tinggi Polri aktif yang menjabat di berbagai posisi strategis di KKP, mulai dari inspektur, direktur jenderal, staf ahli, hingga sekretaris jenderal.
Kedua, KIARA menggarisbawahi bahwa dwifungsi Polri tidak dapat menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat bahari melalui pelayanan publik di KKP. Pasalnya, pelayanan publik haruslah dilaksanakan dengan asas keprofesionalan sesuai Pasal 4 huruf e Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
“Polri tidak memiliki kompetensi untuk memahami kebutuhan dan hak-hak masyarakat bahari, karena sejak awal tugasnya bukan untuk itu,” ujar Susan.
Ketiga, KIARA menilai dwifungsi Polri seperti “duri dalam daging” yang harus segera dicabut. Organisasi ini mendesak agar jabatan di kementerian atau lembaga dikembalikan kepada sipil dan Polri dikembalikan ke tugas awalnya, sehingga prinsip pembatasan kekuasaan dalam negara hukum dapat berjalan dengan semestinya.
Keempat, KIARA menyatakan bahwa polisi aktif yang saat ini menjabat di kementerian atau lembaga lain, terutama KKP, haruslah dianggap jabatannya tidak sah. Hal ini karena Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, yang menjadi dasar dwifungsi Polri, telah dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (void ab initio).
“Konsekuensinya, Polri yang saat ini menjabat di kementerian atau lembaga lain harus meninggalkan jabatannya itu,” tegas Susan.
Kelima, Susan menambahkan bahwa frasa “jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian” dalam putusan MK harus dimaknai sebagai penghapusan total dwifungsi Polri. Menurutnya, meskipun ada tugas atau kewenangan dari kementerian atau lembaga lain yang ada sangkut pautnya dengan kepolisian, tetap tidak boleh menjadi alasan agar polisi aktif menjabat di dua tempat sekaligus.
Dalam kesempatan yang sama, Susan juga mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera melaksanakan Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 dan menghapus dwifungsi Polri sesegera mungkin, terutama di KKP.
“Pemerintah juga harus segera membatalkan dan menarik semua personel aktif Polri dari semua jabatan di kementerian atau lembaga lain di luar Kepolisian Republik Indonesia,” desak Susan.
KIARA menekankan bahwa langkah tersebut sejalan dengan tujuan mengembalikan makna Indonesia sebagai negara hukum dengan memberikan batasan yang tegas terhadap setiap tugas dan kewenangan lembaga negara, termasuk Polri.
“KIARA menuntut agar negara segera memenuhi hak-hak masyarakat bahari yang hingga saat ini banyak dilanggar oleh berbagai aktor, terutama perusahaan dan pemerintah sendiri,” pungkas Susan.
pojokPALU
pojokSIGI
pojokPOSO
pojokDONGGALA
pojokSULTENG
bisnisSULTENG
bmzIMAGES
rindang.ID
Akurat dan Terpecaya