JAKARTA, beritapalu.ID | Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) memperingatkan bahwa 199 kabupaten/kota pesisir di Indonesia akan mengalami banjir rob pada tahun 2050. Dari 81.616 desa yang tersebar di Indonesia, terdapat 12.510 desa pesisir yang memiliki potensi besar mengalami banjir rob dan harus hidup dalam ancaman.
Peringatan ini disampaikan dalam peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKtP), di mana KIARA menyoroti kerusakan ekosistem di beberapa wilayah pesisir Indonesia, khususnya Kabupaten Demak, Jawa Tengah.
Desa-desa seperti Timbulsloko, Margolinduk, Morodemak, hingga Purworejo menyusut dari peta dalam kurun dua dekade akibat abrasi ekstrem yang bukan semata peristiwa alam, melainkan akumulasi panjang dari pembangunan ekstraktif dan percepatan krisis iklim.
“Saat proses kampung ditenggelamkan oleh kebijakan negara atas nama tol laut atau pembangunan lainnya, masyarakat mengalami banjir rob kepanjangan, dan abrasi parah, negara tidak hadir apalagi menetapkan sebagai bencana nasional. Siapa paling terdampak dalam krisis iklim dan bencana ekologis ini, perempuan dan anak-anak,” jelas Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA.
KIARA mencatat berbagai kasus kekerasan yang dialami perempuan nelayan di Indonesia, seperti privatisasi 90% dari Pulau Pari di Kepulauan Seribu, kekerasan yang dialami perempuan nelayan yang menolak tambang nikel Pulau Wawonii di Sulawesi Tenggara, dan kasus pencemaran industri udang Vanamae yang dialami perempuan Jeneponto di Sulawesi.
“Perempuan nelayan nyaris di seluruh Indonesia sulit untuk hidup dalam rasa aman dan nyaman. Kami harus menjalani hidup dengan ketakutan; siapa lagi yang akan dirampas daratan dan lautnya, siapa lagi yang harus hidup dalam ketakutan ada investasi masuk ke daerah mereka. Kami selalu takut dan ketakutan itu harus kami rasakan setiap hari,” ujar Asmaniah, Ketua Kelompok Perempuan Pulau Pari.
Parade 16 Perahu Perempuan Nelayan
Dalam memperingati 16HAKtP, KIARA bersama jaringan menggelar “Parade 16 Perahu Perempuan Nelayan: Melawan Eksploitasi Pesisir yang Merusak Kehidupan” di Dukuh Tambakpolo, Desa Purworejo, Kabupaten Demak, Minggu (30/11/2025).
Kegiatan yang digelar oleh Puspita Bahari dengan dukungan penuh KIARA, PPNI, LBH Semarang, Bara Puan, dan Generate Project-Universitas Leeds ini menjadi seruan darurat dari mereka yang ruang hidupnya berada di garis terdepan krisis ekologi.
Parade 16 perahu perempuan nelayan merupakan bentuk perlawanan kolektif dari perempuan pesisir untuk menyuarakan krisis yang selama ini mereka alami secara langsung, krisis yang sering tidak mendapat perhatian negara. Aksi ini juga mengkonkretkan solidaritas sesama masyarakat pesisir terutama perempuan nelayan dalam mengupayakan pemulihan pesisir, akses air bersih, perumahan aman, hingga pemulihan mata pencaharian yang kian hilang.
“Kami sehari-hari di laut, mencari ikan bersama suami. Menghadapi perubahan iklim dan ombak tinggi pun sudah hal biasa buat kami. Tapi tidak ada dukungan untuk kami dalam mendapatkan harga bahan bakar minyak yang memadai dan terjangkau. Begitu kami tidak bisa melaut, tidak ada lahan/tanah yang bisa kami garap. Suka bingung mencari tambahan untuk makan keluarga dan keperluan pendidikan anak. Negara atau pemerintah tidak hadir dan mendampingi kami dalam menghadapi hal ini,” jelas Nurrikah, nelayan dari Tambakpolo, Demak, Jawa Tengah.
KIARA bersama jaringan perempuan nelayan juga melakukan rangkaian pendidikan dan penguatan koperasi, serta membuat video solidaritas dari perempuan nelayan di beberapa daerah seperti Lampung, Demak, Pulau Pari, dan Surabaya.
“Ini bukan soal seremonial, ini untuk obor semangat buat para perempuan pesisir terutama perempuan nelayan Laut Jawa yang tangguh-tangguh ini. Tidak menyerah dengan kondisi dan meski berat, mereka kini tengah menguatkan ekonomi mereka dengan koperasi,” tambah Susan.
Di jaringan internasional, KIARA bersama World Forum of Fisher Peoples (WFFP) dan World March of Women melakukan pertemuan perempuan nelayan internasional secara daring yang dihadiri 180 perwakilan perempuan nelayan.
KIARA melihat kerusakan ekologis di Kabupaten Demak dan bencana di Sumatera berdiri di atas akar masalah yang sama: eksploitasi lingkungan yang melampaui daya dukung alam. Penebangan vegetasi penyangga, reklamasi dan pengurukan pesisir, ekspansi industri skala besar, serta tata ruang yang mengabaikan risiko ekologis menjadikan desa-desa pesisir Jawa dan Sumatera semakin rentan.
pojokPALU
pojokSIGI
pojokPOSO
pojokDONGGALA
pojokSULTENG
bisnisSULTENG
bmzIMAGES
rindang.ID
Akurat dan Terpecaya