JAKARTA, beritapalu.ID | Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai proses pengadaan energi terbarukan dari PLN masih berlangsung secara kurang transparan dan belum memiliki lini masa yang terstruktur, sehingga menghambat adopsi energi terbarukan di Indonesia.
Penilaian tersebut disampaikan dalam Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2025 yang diselenggarakan IESR bersama Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan didukung Kedutaan Besar Inggris di Jakarta melalui proyek Green Energy Transition Indonesia (GETI), Selasa (7/10/2025).
Koordinator Transisi Sistem Ketenagalistrikan IESR Dwi Cahya Agung Saputra mengungkapkan, beberapa hambatan terjadi dalam tahap perencanaan hingga pasca lelang pengadaan energi terbarukan. Dalam tahap perencanaan, PLN masih membandingkan biaya tarif energi terbarukan dengan biaya listrik PLTU yang disubsidi akibat kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) pada batubara.
“Akibatnya, tarif energi terbarukan kurang menarik untuk investasi swasta. Indonesia juga belum punya kalender pengadaan proyek energi terbarukan dalam periode tertentu (multiyear). Hal ini membuat pengembang dan pasar sulit mempersiapkan diri,” jelas Dwi Cahya.
Pada tahap pra-lelang dan lelang, pengembang yang ingin berpartisipasi harus masuk dalam Daftar Penyedia Terseleksi (DPT). Namun, proses masuk DPT dinilai perlu dibuat lebih jelas dan transparan untuk mendorong lebih banyak pengembang berpartisipasi. Pengembang juga harus menanggung risiko sejak awal karena menanggung biaya studi kelayakan.
Sementara pada tahap pasca lelang, hambatan berupa keterlambatan konstruksi karena masalah izin lahan, tumpang tindih rencana tata ruang, dan penolakan masyarakat lokal.
IESR mendorong tiga rekomendasi untuk mengatasi hambatan pengadaan energi terbarukan. Pertama, memperbaiki proses perencanaan dengan meningkatkan transparansi dan partisipasi publik dalam penyusunan atau revisi RUPTL. Kedua, mereformasi mekanisme pengadaan dengan menerapkan jadwal tetap pembaruan DPT yang transparan dan diawasi KESDM, serta menyusun kalender lelang nasional.
Ketiga, memperkuat peran PLN melalui pembentukan entitas khusus atau anak perusahaan untuk menjadi offtaker dan pelaksana pengadaan khusus energi terbarukan.
Manajer Riset IESR Raditya Wiranegara menyebut, Pulau Timor dan Pulau Sumbawa berpotensi sepenuhnya dialiri energi terbarukan. Pulau Timor memiliki potensi energi terbarukan mencapai 30,81 GW dengan energi surya sebagai potensi terbesar (20,72 GW). Total investasi yang dibutuhkan untuk mewujudkan Pulau Timor dengan 100 persen energi terbarukan adalah sekitar USD 1,54 miliar selama periode 2026–2050.
“Jika strateginya ini dijalankan, pembatalan beberapa proyek PLTU dapat menghindarkan investasi pembangkit fosil sebesar USD 191 juta. Sebagai gantinya, dibutuhkan investasi sekitar USD 260 juta untuk membangun pembangkit energi terbarukan,” papar Raditya.
Sementara Pulau Sumbawa memiliki total potensi energi terbarukan sebesar 10,21 GW, dengan potensi terbesar adalah energi surya (8,64 GW).
Data menunjukkan, hingga Agustus 2025, kapasitas pembangkit energi terbarukan Indonesia masih sekitar 15,2 GW, belum genap satu persen dari potensi teknis energi terbarukan sebesar 3,66 TW. Padahal, pemerintah menargetkan total penambahan kapasitas energi terbarukan dalam RUKN 2025-2060 sebesar 269 GW. (afd/*)