BELEM, BRASIL, beritapalu.ID | Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengkritik orientasi Pemerintah Indonesia di Conference of the Parties ke-30 (COP30) di Belém, Brasil, yang hanya berkutat pada pendanaan iklim dan carbon trading tanpa menyentuh inti permasalahan utama.
Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati mengatakan hingga saat ini orientasi pemerintah Indonesia pada realisasi pendanaan iklim dari negara-negara maju sejalan dengan Proposal Baku to Belém Roadmap senilai USD 1,3 triliun yang disusun Brasil sebagai tuan rumah COP30 bersama Azerbaijan sebagai tuan rumah COP29.
Proposal tersebut memuat mekanisme untuk memobilisasi pembiayaan iklim senilai USD 1,3 triliun per tahun bagi negara berkembang pada 2035.
“Titik tekan negosiator berbagai negara adalah hanya berkutat pada pendanaan iklim dan carbon trading di hutan dan laut, akan tetapi tidak menyentuh pada inti permasalahan utama yaitu menekan aktivitas industri ekstraktif dan eksploitatif yang selama ini menjadi produsen emisi dan kontributor utama perubahan iklim,” tegasnya.
Susan menilai tanpa pembahasan dan tindakan konkret yang menyentuh inti permasalahan, konsekuensinya adalah berulangnya seremonial iklim, korporasi multinasional tidak mengurangi produksi emisi, semakin masifnya eksploitasi sumber daya alam di negara berkembang, hingga penghancuran wilayah hutan, pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.
Dalam pembukaan Paviliun Indonesia di COP30, Pemerintah Indonesia melalui Menteri Lingkungan Hidup memperkenalkan konsep “Seller Meet Buyer” dengan dalih bahwa diplomasi iklim tidak hanya tentang kebijakan, tetapi juga tentang ekonomi untuk menjembatani penjual dan pembeli kredit karbon.
“Pemerintah selalu mendorong pembiayaan iklim dalam KTT COP di beberapa tahun belakangan melalui mekanisme perdagangan karbon dengan dalih akan disalurkan ke masyarakat lokal. Akan tetapi realitanya jelas berbeda. Saat ini Indonesia merupakan salah satu dari 10 negara penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia,” jelasnya.
KIARA mencatat berdasarkan data Climate Watch sejak 1990 hingga 2021, Indonesia merupakan salah satu dari 10 negara yang konsisten sebagai penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia. Di tahun 2022 dan 2023, Indonesia menempati urutan ke-7, sedangkan di tahun 2024 berada di peringkat ke-6 sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar.
Emisi gas rumah kaca didominasi sektor energi, pertanian, proses industri, limbah, dan penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan dan kehutanan.
Susan menambahkan realita di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil jauh berbeda dengan yang disampaikan delegasi Pemerintah Indonesia. Hal tersebut diperparah dengan semakin masifnya industri ekstraktif seperti pertambangan nikel beserta infrastruktur pendukungnya di pesisir dan pulau-pulau kecil, pertambangan pasir laut dan pasir besi, alih fungsi mangrove untuk perluasan tambak perikanan, hingga perampasan areal konservasi kelola masyarakat.
“Keseluruhannya berkonsekuensi terhadap dirampasnya ruang kelola masyarakat yang kami sebut sebagai Ocean Grabbing,” tegasnya.
Susan menyebut pendanaan iklim yang diperjuangkan pemerintah Indonesia tidak sesuai dengan perlindungan sosial-ekologi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Khususnya di pesisir utara Jawa, pemerintah tengah menggencarkan pembangunan Giant Sea Wall sebagai bentuk mitigasi perubahan iklim, namun belum melakukan tindakan untuk mendukung masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil.
KIARA mencatat dalam Peraturan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang telah disahkan di 28 provinsi, pengakuan alokasi ruang untuk mangrove hanya terdapat di 12 provinsi dengan total luasan 52.455,91 hektare. Sisanya, di 16 provinsi lain tidak memberikan perlindungan melalui pengakuan ekosistem mangrove.
“Mirisnya, di Peraturan Tata Ruang Integrasi, eksistensi ekosistem mangrove semakin tidak diakui dan tidak dilindungi oleh Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat,” tegasnya.
Susan mengatakan pemerintah pusat maupun daerah hanya memiliki data proyeksi tentang luasan ekosistem terumbu karang dan lamun, tidak memiliki data pasti tentang luasan existing ekosistem esensial di pesisir, laut, dan pulau kecil Indonesia.
“Dengan tidak adanya data valid tersebut, maka perlindungan atas ekosistem terumbu karang, lamun, dan mangrove yang digunakan sebagai bahan jualan karbon pemerintah di level internasional juga tidak jelas dan hanya sebagai solusi palsu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” pungkasnya.
pojokPALU
pojokSIGI
pojokPOSO
pojokDONGGALA
pojokSULTENG
bisnisSULTENG
bmzIMAGES
rindang.ID
Akurat dan Terpecaya