Laut yang Mati dan Lumpur yang Menggerogoti Tambarana

View this post on Instagram
POSO, beritapalu | Laut lepas yang membentang di depan rumah Rahman (42) tak lagi biru. Airnya berwarna cokelat pekat, seperti kopi pahit yang tercampur lumpur. Setiap pagi, nelayan di pesisir Poso Pesisir Utara ini harus berlayar 3 kali lebih jauh hanya untuk mendapatkan segenggam ikan. “Ini bukan laut, ini kubangan limbah,” katanya, menunjuk air laut tercemar, tempat perahunya tertambat.
Sejak tambang emas ilegal beroperasi di hulu Sungai Tambarana lebih dari setahun lalu, bencana ekologis mengancam warga. Data Universitas Tadulako menyebutkan, kadar merkuri di sedimen laut mencapai 8x lipat ambang batas aman. Dampaknya, 70% ikan karang lenyap, dan nelayan seperti Rahman hanya mampu membawa pulang 5 kg ikan per hari—bandingkan dengan 50 kg sebelumnya.
Konflik pun meletup. Sebagian warga, beralih menjadi penambang ilegal demi penghasilan Rp500.000/hari. “Kami terjepit. Larang tambang, warga kelaparan. Biarkan, laut hancur,” ujar warga lainnya.
Pemerintah pun tampak tak berdaya. Tim gabungan TNI-Polri yang dikirim Bupati Poso 3 kali selalu gagal menertibkan tambang. Sementara itu, 15 warga dilaporkan terpapar zat berbahaya, dan harga ikan di pasar melambung 40%.
Di tengah kebisuan negara, nelayan tua berbisik lirih: “Kami hanya bisa menunggu: apakah laut atau tambang yang lebih dulu membunuh kami,” ujarnya lirih. (bmz)