PALU, beritapalu.ID | Berdasarkan Laporan Hasil Pemantauan Tren Penindakan Korupsi Tahun 2024 yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW) pada September 2025, Provinsi Sulawesi Tengah mencatat 11 kasus korupsi dengan 17 tersangka dan potensi kerugian negara mencapai Rp39,3 miliar. Posisi ini menempatkan Sulawesi Tengah di urutan ke-11 secara nasional dari total 36 provinsi yang dipantau.
Meski jumlah kasus relatif tidak sebanyak provinsi lain, fakta bahwa Sulawesi Tengah masuk 15 besar provinsi dengan kasus korupsi terbanyak menunjukkan masih lemahnya sistem pencegahan dan pengawasan di daerah ini.
Konteks Nasional: Gambaran Umum Korupsi 2024
Untuk memahami posisi Sulawesi Tengah, perlu melihat konteks nasional terlebih dahulu. Tahun 2024 mencatat 364 kasus korupsi dengan 888 tersangka di seluruh Indonesia, dengan total kerugian negara mencapai Rp279,9 triliun. Namun, 96,8% dari kerugian tersebut berasal dari satu kasus mega korupsi PT Timah.
Jumlah kasus dan tersangka terendah dalam 5 tahun terakhir, mengindikasikan melemahnya intensitas penindakan. Banyak unit Kejaksaan dan Kepolisian tidak menangani perkara korupsi, menunjukkan lemahnya komitmen penegakan hukum. Korupsi dominan terjadi di sektor yang menyentuh kebutuhan dasar: desa (77 kasus), utilitas (57 kasus), kesehatan (39 kasus), dan pendidikan (25 kasus). Aktor utama: Pegawai pemerintah daerah (261 tersangka), swasta (256 tersangka), dan kepala desa (73 tersangka)
Posisi Sulawesi Tengah dalam Peta Korupsi Nasional
Sulawesi Tengah berada di urutan ke-11 dari 36 provinsi berdasarkan jumlah kasus. Di wilayah Sulawesi sendiri, posisinya adalah:
Provinsi | Peringkat Nasional | Kasus | Tersangka | Kerugian Negara |
Sulawesi Tenggara | 9 | 13 | 32 | Rp32,7 miliar |
Sulawesi Utara | 10 | 12 | 28 | Rp38,4 miliar |
Sulawesi Tengah | 11 | 11 | 17 | Rp39,3 miliar |
Sulawesi Barat | 13 | 10 | 20 | Rp7,3 miliar |
Sulawesi Selatan | 16 | 9 | 25 | Rp27,9 miliar |
Meski jumlah kasus Sulawesi Tengah lebih sedikit dari Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara, nilai kerugian negara justru lebih tinggi. Ini mengindikasikan bahwa kasus-kasus korupsi di Sulawesi Tengah melibatkan nominal yang lebih besar per kasus.
Rata-rata Kerugian Per Kasus: Sulawesi Tengah Rp3,57 miliar per kasus; Sulawesi Utara Rp3,2 miliar per kasus; Sulawesi Tenggara Rp2,5 miliar per kasus; Sulawesi Selatan Rp3,1 miliar per kasus; Sulawesi Barat Rp738 juta per kasus.
Data ini menunjukkan bahwa modus korupsi di Sulawesi Tengah cenderung melibatkan anggaran atau proyek dengan nilai lebih besar.
Karakteristik Khusus Korupsi di Sulawesi Tengah
Fakta menarik dari Sulawesi Tengah: laporan ICW di provinsi ini sepanjang 2024 tidak ada kasus suap, pungutan liar, atau pencucian uang terdeteksi. Ini bisa diinterpretasikan dalam dua cara:
Interpretasi positif: Sistem pengawasan terhadap gratifikasi dan pungli relatif lebih baik
Interpretasi kritis: Kemungkinan kasus-kasus tersebut tidak terdeteksi atau tidak ditindak oleh aparat penegak hukum
Mengingat tren nasional menunjukkan bahwa banyak satuan kerja APH tidak melakukan penindakan, interpretasi kedua patut menjadi perhatian serius.
Dominasi Kasus Kerugian Keuangan Negara
Berdasarkan pola nasional, 90% kasus korupsi di Indonesia adalah jenis kerugian keuangan negara (Pasal 2 dan 3 UU Tipikor). Sulawesi Tengah kemungkinan besar mengikuti pola yang sama, dengan modus dominan penyalahgunaan anggaran.
Analisis Sektor dan Lembaga Rawan Korupsi
Meski data spesifik per provinsi tidak dirinci dalam laporan, pola nasional memberikan indikasi kuat tentang sektor-sektor rawan di Sulawesi Tengah:
Sektor Paling Rawan (Proyeksi Berdasarkan Tren Nasional): Sektor Desa, pemerintah desa menjadi lembaga terbanyak kedua yang terlibat korupsi (77 kasus, 116 tersangka); Kepala desa menduduki urutan ketiga tersangka terbanyak (73 orang).
Sektor Utilitas (57 kasus nasional), meliputi infrastruktur, listrik, air bersih dan menyentuh langsung kebutuhan dasar masyarakat. Sektor Kesehatan (39 kasus nasional) berdampak langsung pada kualitas pelayanan kesehatan masyarakat; Sektor Pendidikan (25 kasus nasional), merugikan masa depan generasi muda.
Profil Pelaku Korupsi: Siapa yang Korupsi di Sulawesi Tengah?
Dengan 17 tersangka yang teridentifikasi, proyeksi berdasarkan pola nasional menunjukkan kemungkinan profil pelaku berdasarkan proporsi nasional: Pegawai Pemerintah Daerah: ~5-6 orang (29,39% dari total); Pihak Swasta: ~5 orang (28,83% dari total); Kepala Desa: ~1-2 orang (8,22% dari total); Perangkat Desa: ~1 orang; Lainnya: ~3-4 orang.
Modus Operandi Korupsi di Sulawesi Tengah
Secara nasional, 187 dari 364 kasus (51,4%) terjadi dengan modus penyalahgunaan anggaran. Kemungkinan besar pola serupa terjadi di Sulawesi Tengah.
Karakteristik penyalahgunaan anggaran: Lemahnya transparansi dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran; Rendahnya kualitas pengawasan internal maupun eksternal; Markup harga proyek; Proyek fiktif atau tidak sesuai spesifikasi; Penggelembungan volume pekerjaan
Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa
Modus lain yang kemungkinan besar terjadi: Persekongkolan dalam tender; Mark-up harga; Barang/jasa tidak sesuai spesifikasi; dan Kolusi antara panitia pengadaan dengan penyedia.
Kinerja Aparat Penegak Hukum
Secara nasional, tahun 2024 mencatat penurunan drastis jumlah kasus dan tersangka:
Kejaksaan: Kasus menurun 52% (berkurang 287 kasus dari 2023); Tersangka menurun 44% (berkurang 511 orang)
Kepolisian: Kasus menurun 56,7% (berkurang 109 kasus); Tersangka menurun 50% (berkurang 194 orang)
KPK: Kasus menurun 64,5% (berkurang 31 kasus); Tersangka menurun 67% (berkurang 99 orang).
Satuan Kerja yang Tidak Menangani Perkara
Fakta mengkhawatirkan: 6 Kejaksaan Tinggi tidak menangani perkara korupsi; 292 Kejaksaan Negeri tidak menangani perkara korupsi; 20 Kepolisian Daerah tidak menangani perkara korupsi; dan 445 Kepolisian Resor tidak menangani perkara korupsi.
Implikasi untuk Sulawesi Tengah:
Dengan 11 kasus yang tercatat di Sulawesi Tengah, pertanyaan kritis yang muncul: Berapa satuan kerja Kejaksaan dan Kepolisian di Sulteng yang benar-benar menangani kasus? Berapa satuan kerja yang tidak menangani perkara sama sekali? Berapa anggaran penanganan korupsi yang tidak terserap?
Potensi Anggaran Tidak Terserap
Secara nasional, ICW memperkirakan: Kejaksaan: Rp99 miliar – Rp267 miliar tidak terserap Kepolisian: Rp124 miliar – Rp356 miliar tidak terserap KPK: Rp47,7 miliar tidak terserap. Untuk Sulawesi Tengah, kemungkinan ada jutaan hingga miliaran rupiah anggaran penanganan korupsi yang tidak digunakan optimal.
Minimnya Penggunaan Pasal 18 UU Tipikor
Pasal 18 UU Tipikor mengatur perampasan aset hasil korupsi, namun: Kejaksaan hanya 35 dari 264 kasus (13,3%) yang menggunakan Pasal 18; Kepolisian hanya 12 dari 83 kasus (14,5%) yang menggunakan Pasal 18; KPK hanya 1 dari 18 kasus (5,6%) yang menggunakan Pasal 18.
Implikasi: Meski kerugian negara Sulteng mencapai Rp39,3 miliar, kemungkinan besar upaya pemulihan aset sangat minimal.
Secara nasional, hanya 5 kasus yang dijerat dengan pasal pencucian uang. Di Sulawesi Tengah, tidak ada satu pun kasus pencucian uang yang terdeteksi. Ini menunjukkan APH belum optimal dalam melacak aliran dana hasil korupsi, merampas aset yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, memberikan efek jera maksimal kepada pelaku
Tantangan Struktural di Sulawesi Tengah
- Lemahnya Transparansi dan Akuntabilitas
Masalah: Data kasus korupsi sulit diakses public; Informasi penanganan perkara tidak komprehensif; Minimnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan.
Dampak: Masyarakat sulit memantau kinerja APH; Potensi korupsi terselubung meningkat; Akuntabilitas lembaga melemah
- Kapasitas APH yang Tidak Merata
Indikator: Banyak satuan kerja tidak menangani perkara; Konsentrasi penanganan hanya di satker tertentu; Anggaran tidak terserap optimal
Kebutuhan: Pelatihan dan peningkatan kapasitas penyidik; Pemerataan kompetensi personil; Sistem monitoring dan evaluasi yang ketat
Dampak Korupsi terhadap Masyarakat Sulawesi Tengah
Kerugian Langsung
Dengan kerugian negara Rp39,3 miliar, potensi kehilangan untuk masyarakat Sulteng: Pembangunan infrastruktur yang tertunda atau berkualitas buruk; Layanan kesehatan yang tidak optimal; Pendidikan yang minim fasilitas; Subsidi dan bantuan sosial yang tidak tepat sasaran
Kerugian Tidak Langsung
Distorsi Ekonomi: Biaya tinggi akibat ekonomi biaya tinggi; Iklim investasi yang tidak sehat; Persaingan usaha tidak sehat
Ketidakadilan Sosial: Pelayanan publik diskriminatif; Kesenjangan ekonomi melebar; Kemiskinan structural. Krisis Kepercayaan: Hilangnya kepercayaan pada pemerintah; Apatis politik; Melemahnya kohesi sosial
Sulawesi Tengah berada di posisi kritis dalam peta korupsi nasional. Dengan 11 kasus, 17 tersangka, dan kerugian Rp39,3 miliar, provinsi ini menempati urutan ke-11 dari 36 provinsi dengan jumlah kasus terbanyak.
Korupsi di Sulawesi Tengah bukan sekadar angka statistik. Setiap rupiah yang dikorupsi adalah hak rakyat yang dirampas, kesempatan pembangunan yang hilang, dan masa depan generasi muda yang dipertaruhkan.
Pemberantasan korupsi membutuhkan komitmen bersama: pemerintah yang transparan dan akuntabel, APH yang tegas dan profesional, serta masyarakat yang kritis dan partisipatif. Tanpa perubahan sistemik dan komitmen serius dari semua pihak, Sulawesi Tengah berisiko terus terjebak dalam lingkaran korupsi yang merugikan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. (afd)
Narasi ini disusun berdasarkan Laporan Hasil Pemantauan Tren Penindakan Korupsi Tahun 2024, Indonesia Corruption Watch, September 2025