Di usia 84 tahun, Ina Tobani masih memegang erat tradisi pembuatan kain kulit kayu Kulawi—bukan hanya untuk menghidupi keluarganya, tetapi juga untuk memastikan warisan leluhur tetap berdenyut
SIGI, beritapalu.ID | Cahaya matahari mulai menerobos celah-celah dinding rumah kayu sederhana di Desa Mataue. Di sudut ruangan, Ina Tobani duduk bersila di atas tikar pandan. Tangannya yang keriput bergerak perlahan, penuh keyakinan, mengolah lembaran kulit kayu menjadi kain halus yang kelak akan menjadi pakaian adat.
Di usia 84 tahun, ia tak lagi diizinkan ke kebun atau sawah. Tapi tangan tuanya justru semakin sibuk—bukan untuk sekadar mengisi waktu, melainkan menghidupi keluarga dan menjaga warisan yang telah berusia 4.000 tahun.
“Saya sudah tua, dan sudah tidak diizinkan lagi untuk ke kebun atau ke sawah. Jadi sekarang saya hanya membuat kain kulit kayu untuk dijual,” katanya diselingi senyum tipis.
Kain kulit kayu bukan sekadar kerajinan bagi Ina Tobani. Ia adalah sumber penghidupan satu-satunya. Sebagai kepala keluarga, ia harus memenuhi kebutuhan sehari-hari dan merawat tiga anaknya yang kini sedang sakit. Setiap lembaran kain yang ia jual—mulai dari bahan mentah hingga pakaian adat siap pakai—menjadi harapan untuk makan besok, untuk obat, untuk bertahan.
Namun, beban ekonomi tak pernah membuatnya berhenti mengajar. Justru di tengah kesulitan itu, Ina Tobani memilih membagi ilmunya secara cuma-cuma kepada warga Desa Mataue. Ia membentuk kelompok pengrajin yang hingga kini aktif dalam pelatihan dan produksi. Tak ada tarif, tak ada syarat. Yang ia minta hanya satu: jangan biarkan tradisi ini mati.
“Ini warisan leluhur. Kalau bukan kita yang jaga, siapa lagi?” ujarnya tegas, sambil menatap lurus ke depan—seolah berbicara kepada masa depan yang belum ia lihat.
Ketika Tradisi Menjadi Identitas
Kain kulit kayu bukan fenomena baru. Pengetahuan tentang pembuatannya telah bertahan selama kurang lebih 4.000 tahun, diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat adat di wilayah Kulawi. Pada 2023, kain kulit kayu resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB) Indonesia—pengakuan yang seharusnya membawa angin segar bagi para pengrajin seperti Ina Tobani.
Tapi pengakuan saja tak cukup membayar biaya hidup. Dan Ina Tobani paham betul itu.
Sejak lulus dari Sekolah Rakyat—kira-kira 72 tahun lalu—ia sudah mulai menekuni kerajinan ini. Dari tangan ibunya, ia belajar memukul kulit kayu dengan alat tradisional hingga lembut seperti kain. Dari kakeknya, ia belajar memilih pohon yang tepat, memanen kulit tanpa merusak batang, dan mengeringkan bahan dengan cara yang benar.
Kini, di usianya yang renta, Ina Tobani bukan hanya pengrajin. Ia adalah maestro—sosok yang menjadi rujukan bagi siapa saja yang ingin belajar membuat kain kulit kayu. Ia adalah simbol pelestarian budaya lokal, sekaligus bukti bahwa tradisi bisa tetap hidup meski zaman terus berubah.

Mengajar Tanpa Mengharap
Kelompok pengrajin yang dibentuk Ina Tobani bukan sekadar perkumpulan kerja. Ia adalah ruang belajar, ruang berbagi, dan ruang mempertahankan identitas. Setiap minggu, warga Desa Mataue—terutama perempuan muda—datang ke rumahnya untuk belajar. Mereka duduk melingkar, mendengarkan dengan seksama setiap instruksi, mencoba meniru setiap gerakan tangan sang maestro.
Ina Tobani tak pernah memungut biaya. Ia bahkan sering menyediakan bahan sendiri untuk latihan. Baginya, menjaga warisan leluhur jauh lebih penting daripada keuntungan pribadi. Ia tahu, jika tradisi ini hilang, yang lenyap bukan hanya keterampilan—tetapi juga identitas, cerita, dan kehormatan masyarakat Kulawi.
“Kalau saya tidak mengajar, siapa yang akan melanjutkan? Anak-anak sekarang banyak yang pergi ke kota. Kalau mereka tidak tahu cara membuat kain ini, nanti tradisi kita hilang begitu saja,” katanya dengan nada prihatin.
Warisan yang Tak Boleh Padam
Melalui tangan-tangan terampilnya, warisan ribuan tahun itu terus berdenyut. Setiap pukulan pada kulit kayu adalah doa agar tradisi ini tetap hidup. Setiap lembaran kain yang selesai adalah bukti bahwa budaya tak harus kalah oleh zaman.
Ina Tobani tahu, ia tak akan selamanya ada. Tapi ia juga yakin, selama masih ada orang yang mau belajar, selama masih ada tangan yang mau meneruskan, kain kulit kayu Kulawi akan tetap menjadi bagian dari identitas Sulawesi Tengah.
Di usia 84 tahun, Ina Tobani tak lagi kuat ke kebun. Tapi ia masih kuat menjaga warisan. Dan itu, mungkin, adalah pengabdian terbesar yang bisa diberikan seorang maestro kepada bangsanya.
pojokPALU
pojokSIGI
pojokPOSO
pojokDONGGALA
pojokSULTENG
bisnisSULTENG
bmzIMAGES
rindang.ID
Akurat dan Terpecaya