
DI sebuah sekolah negeri di pinggiran Kota, pak Ahmad tetap datang setiap pagi meski gajinya kerap terlambat berbulan-bulan. Ia membawa modul fotokopian dari kantong pribadi, karena sekolah tak mampu menyediakan buku yang layak. Ketika orang tua murid mengeluh soal kualitas Pendidikan, ia yang disalahkan. Ketika anggaran pendidikan dipotong, ia yang pertama merasakan dampaknya. Namun, setiap hari pak Ahmad tetap berdiri di depan kelas, dengan senyum tulus dan semangat yang tak pernah surut.
Ironi ini terjadi di seluruh Indonesia. Guru, yang sebenarnya menjadi ujung tombak kemajuan bangsa, justru kerap dipandang sebagai “beban” oleh berbagai pihak. Pemerintah menganggap mereka beban anggaran. Masyarakat menganggap mereka kambing hitam atas rendahnya kualitas pendidikan. Media massa sering menggambarkan profesi guru sebagai pilihan terakhir bagi mereka yang “tidak mampu” meraih profesi lain. Namun dibalik stigma negative ini, tersimpan keikhlasan yang luar biasa. Keiklasan yang menjadi fondasi sesungguhnya dari sistem pendidikan kita yang masih bertahan hingga kini.
Data Kemendikbudristek 2024 menunjukkan bahwa 85% guru di Indonesia masih menggunakan dana pribadi untuk keperluan mengajar. Mereka membeli spidol, kertas, bahkan memperbaiki fasilitas sekolah dengan uang sendiri. Survey Indonesia Institute for Corporate Directorship (IICD) menemukan bahwa 67% guru rela bekerja lembur tanpa imbalan tambahan demi kesuksesan siswa-siswanya. Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Ini adalah potret keikhlasan yang terukur, dedikasi yang terdokumentasi.
Mengapa mereka beratahan? Jawabannya sederhana namun mendalam; cinta pada profesi dan tanggung jawab moral terhadap generasi penerus bangsa.
Bu Sari, Guru SD di Flores, bercerita bagaimana ia rela menempuh perjalanan dua jam setiap hari melintasi bukit berbatu hanya untuk mengajar 15 siswa didesanya. “Kalau saya tidak datang, siapa yang akan mengajari mereka membaca? ujarnya dengan mata berbinar.
Pak Joko di Kalimantan menjual hasil kebun singkong untuk membiayai internet sekolah agar siswanya bisa mengakses materi pembelajaran digital. “Mereka harus punya kesempatan yang sama dengan anak-anak di kota”, tegasnya.
Namun, keiklasan bukan berarti kita boleh terus membebani guru secara tidak adil. Ketika sistem gagal, guru yang disalahkan, ketika siswa tidak berprestasi, guru yang dituding. Ketika fasilitas sekolah rusak, guru yang harus memperbaiki dengan dana pribadi. Ini bukan hanya tidak adil, tetapi kontraproduktif. Bagaimana kita bisa mengharapkan kualitas pendidikan yang baik jika kita terus memperlakukan guru sebagai “beban” alih-alih asset berharga?
Sudah saatnya kita mengubah paradigma, keikhlasan guru bukan alasan untuk mengeksploitasi dedikasi mereka, tetapi justru menjadi motivasi untuk memberikan dukungan maksimal.
Pertama, pemerintah harus memastikan kesejahteraan guru melalui gaji yang layak dan fasilitas mengajar yang memadai. Kedua, masyarakat perlu mengubah cara pandang terhadap profesi guru- dari “pekerjaan sampingan” menjadi profesi mulia yang membutuhkan kompetensi tinggi. Ketiga, media massa harus lebih berimbang dalam memberitakan dunia pendidikan, tidak hanya menyoroti kekurangan tetapi juga menghargai perjuangan guru.
Keikhlasan guru Indonesia adalah modal sosial yang tak ternilai. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang setiap hari berjuang membentuk karakter dan intelektualitas generasi penerus. Tanpa keiklasan mereka, sistem pendidikan Indonesia mungkin sudah runtuh sejak lama. Kini saatnya keiklasan itu di balas dengan penghargaan yang setimpal. Bukan hanya dalam bentuk pujian di hari guru, tetapi melaui kebijakan yang pro-guru, dukungan masyarakat yang konsisten, dan pengakuan bahwa guru adalah investasi terbaik untuk masa depan bangsa.
Karena di balik setiap keikhlasan guru, tersimpan harapan akan Indonesia yang lebih baik. Dan harapan itu, layak untuk diperjuangkan bersama.
“Guru yang ikhlas tidak mengajar karena dia dibayar, tetapi dibayar karena dia mengajar dengan hati”
———
*) Dosen Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah UIN Datokarama Palu