Baru 4 Daerah di Sulteng Miliki Perda Pengakuan Masyarakat Adat

PALU, beritapalu.ID | Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Sulawesi Tengah menyebutkan baru empat dari 13 kabupaten/kota yang memiliki Peraturan Daerah (Perda) pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, padahal terdapat 94 wilayah adat tersebar di 12 kabupaten dan 1 kota dengan luasan sekitar 1 juta hektare di provinsi ini.

Data ini disampaikan Kepala BRWA Sulawesi Tengah, Joisman Tanduru, saat meluncurkan data terkini status pengakuan wilayah adat bertepatan dengan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia, 9 Agustus 2025.

Rendahnya jumlah kabupaten yang memiliki Perda ini menunjukkan masih banyak tantangan dalam mendapatkan pengakuan dari pemerintah daerah. Dari total 13 kabupaten/kota di Sulawesi Tengah, baru empat kabupaten yang memberikan regulasi pengakuan yaitu Morowali (Perda No. 13/2012), Sigi (Perda No. 15/2014), Tojo Una-Una (Perda No. 11/2017), dan Banggai Kepulauan (Perda No. 10/2024).

BACA JUGA:  Pemkot Palu Intervensi Balita Kekurangan Gizi

Joisman menyatakan momentum ini sejalan dengan agenda prioritas pemerintahan Prabowo-Gibran yang tercantum dalam “Asta Cita”, yaitu melindungi HAM, menjamin ketahanan pangan nasional, memperkuat perlindungan lingkungan hidup, dan mendorong pembangunan berkelanjutan yang inklusif.

Di tingkat provinsi, Program BERANI yang diusung Pemerintahan Anwar Hafid-Reni Lamadjido diharapkan dapat memberikan keberpihakan bagi keberadaan dan keberlangsungan masyarakat adat di Sulawesi Tengah.

“Implementasi agenda pemerintahan baik pusat maupun daerah akan sulit tercapai tanpa memastikan pengakuan dan perlindungan atas hak masyarakat adat, karena wilayah adat adalah sumber pangan lokal, penyerap emisi karbon, sekaligus garda terdepan pelindung keanekaragaman hayati,” ujar Joisman.

Kondisi ini mengakibatkan tingginya konflik tenurial dan penyingkiran hak masyarakat adat di sembilan kabupaten/kota lainnya yang belum memiliki Perda. BRWA mencatat berbagai kasus konflik di Taman Nasional Lore Lindu, wilayah adat Nggolo dari Palu hingga Donggala, komunitas Tau Taa Wana Burangas di Morowali Utara yang berkonflik dengan korporasi, dan komunitas Wanua Watutau di Poso yang berkonflik dengan Bank Tanah.

BACA JUGA:  Masyarakat Adat Gugat Kewajiban Negara Melalui Pengadilan

Ancaman baru muncul melalui Perpres No. 5/2025 tentang Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang dalam praktiknya justru menyasar wilayah adat di dalam kawasan hutan negara, alih-alih menindak pelaku besar perusakan hutan.

BRWA Sulteng berkontribusi melalui pendokumentasian wilayah adat dan kearifan lokal serta advokasi kebijakan bersama pemerintah daerah. Proses verifikasi langsung ke komunitas masyarakat adat dilakukan sesuai tahapan registrasi BRWA.

Organisasi ini juga bersama Koalisi CSO (KARAMHA) mendorong lahirnya Perda pengakuan masyarakat adat di tingkat provinsi sebagai panduan bagi kabupaten lain.

BRWA berharap momentum Hari Masyarakat Adat dapat mempercepat pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat melalui kolaborasi, pendokumentasian kuat, dan kemauan politik semua pihak. Hal ini demi keberlanjutan, kemandirian, dan kedaulatan masyarakat adat dalam mengelola wilayah adatnya tanpa diskriminasi atau kriminalisasi.

BACA JUGA:  Ini Sikap Politik Gerakan Rakyat Kawal Masyarakat Adat

Minimnya Perda pengakuan masyarakat adat di Sulteng menjadi perhatian serius dalam momentum Hari Masyarakat Adat 2025 untuk mempercepat pengakuan hak masyarakat adat sebagai komitmen penghormatan dan keberlangsungan generasi. (afd/*)

Leave a Comment

Scroll to Top