Menggelegar, Parade Puisi di Halaman Kantor DPRD Sulteng

PALU, beritapalu | Bulan bersinar terang, cahayanya merefleksi lembut pada permukaan kolam air mancur yang terus memuncrat ke atas. Di bawah tiang bendera yang menjulang tegak di halaman kantor DPRD Sulawesi Tengah, panggung sederhana telah tertata. Sabtu malam, 2 Agustus 2025, bukan malam biasa bagi para seniman dan budayawan Kota Palu.

“Belo rapovia, belo rakava!” pekik Wiwik Jumatul Rofi’ah, anggota DPRD Sulteng, saat mendeklamasikan puisinya dengan penuh semangat. Suaranya memecah keheningan malam, mengalir bersama cahaya bulan yang seolah memberikan restu atas parade puisi yang tengah berlangsung dalam rangka memperingati Hari Puisi Nasional.

Panggung Rakyat di Halaman Wakil Rakyat

Di tempat yang biasanya menjadi ruang formal bagi para wakil rakyat, malam itu berubah menjadi arena ekspresi bebas. Halaman kantor DPRD Sulteng disulap menjadi panggung terbuka tempat puluhan seniman dan budayawan menumpahkan isi hati mereka melalui lantunan puisi.

Tidak hanya Wiwik yang tampil memukau. Deretan nama-nama besar dunia seni dan budaya Sulawesi Tengah juga tak kalah menggelar saat memukulkan puisinya di panggung sederhana itu. Syuaib Djafar, mantan Kepala Dinas Pariwisata Sulteng, tampil dengan gayanya yang khas. Arifin Sunusi, budayawan sekaligus mantan anggota DPRD Kota Palu, membawakan puisi dengan penghayatan mendalam. Sesepuh budayawan Masama Amin Syam, Dili, Erfan, dan puluhan seniman lainnya silih berganti naik ke panggung.

Malam itu benar-benar malam yang berbeda. Atmosfer formal kantor perwakilan rakyat berubah menjadi ruang intimat tempat para seniman berbagi rasa dan pikiran mereka yang paling dalam.

BACA JUGA:  Berkinerja Terbaik, Kota Palu Raih TPID Award 2024

Spontanitas dalam Keindahan

Emhan Saja, seniman yang diberi tanggung jawab oleh Forum Seniman dan Budayawan Sulteng untuk merepresentasikan acara tersebut, mengungkapkan bahwa parade ini digelar menyahuti permintaan para seniman dan budayawan untuk sesekali memparadekan puisi.

“Momentumnya cukup tepat, karena gagasannya muncul ketika Hari Puisi Nasional sedang mencapai puncaknya,” ungkapnya di sela-sela acara yang berlangsung dengan penuh semangat itu.

Tema sentral yang diusung malam itu adalah “Berani Teriak Untuk Bangsa Negara dan Daerah” – sebuah tema yang tidak hanya mengundang apresiasi, tetapi juga refleksi mendalam tentang peran seni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Yang menarik dari parade malam itu adalah spontanitasnya. Puluhan seniman saling berganti menyampaikan puisinya, bahkan beberapa di antaranya hanya mempersiapkan, bahkan membuat puisinya tepat ketika acara akan dimulai. Tidak ada persiapan berbulan-bulan, tidak ada naskah yang sudah dipoles berkali-kali. Yang ada adalah kejujuran seorang seniman yang ingin mengungkapkan apa yang ada di hatinya saat itu juga.

Teriakan Kritis di Depan Rumah Rakyat

Dengan penggambaran yang tajam akan fakta hidup di sekitarnya, para seniman itu menggelegarkan, meneriakkan suara-suara kritis untuk negara, bangsa, dan daerah. Pilihan lokasi di halaman kantor DPRD bukanlah kebetulan. Di depan kantor perwakilan rakyat itu, mereka menyatakan kegelisahan dan harapan, mereka menyuarakan kegundahan sekaligus tawaran perbaikan.

BACA JUGA:  IPEBI Sulteng Salurkan Bantuan Untuk Korban Banjir Di Kota Palu

Puisi-puisi yang dilantunkan malam itu bukan sekadar rangkaian kata-kata indah. Ia adalah cermin dari kondisi sosial, politik, dan budaya yang mereka saksikan sehari-hari. Ada kritik terhadap kondisi yang tidak ideal, ada harapan akan perubahan yang lebih baik, ada juga impian tentang masa depan yang lebih cerah.

Malam itu, di bawah sinar bulan yang terang dan gemericik air mancur yang tidak pernah lelah, para seniman benar-benar memparadekan hasrat dan bahkan impian mereka. Mereka tidak hanya membacakan puisi, tetapi menghidupkan setiap kata, setiap baris, setiap bait dengan seluruh jiwa mereka.

Seniman Dini mendeklamasikan puisinya dalam perayaan Hari Pusi Nasional di depan Kantor DPRD Sulteng, Sabtu (2/8/2025) malam. (©bmzIMAGES/basri Marzuki)
Seniman Dini mendeklamasikan puisinya dalam perayaan Hari Pusi Nasional di depan Kantor DPRD Sulteng, Sabtu (2/8/2025) malam. (©bmzIMAGES/basri Marzuki)

Puisi sebagai Media Perlawanan dan Harapan

Parade Puisi di halaman DPRD Sulteng malam itu menjadi bukti bahwa puisi tidak pernah mati. Di era digital yang serba cepat ini, di tengah gempuran media sosial dan konten-konten viral, puisi tetap memiliki tempat istimewa di hati para seniman dan penikmat seni.

Lebih dari itu, acara malam itu menunjukkan bahwa puisi masih menjadi media yang efektif untuk menyampaikan aspirasi, kritik, dan harapan. Ketika jalur-jalur komunikasi formal terkadang terasa kaku dan birokratis, puisi hadir sebagai bahasa yang lebih dekat dengan hati, lebih mampu menyentuh jiwa, dan lebih berani dalam menyuarakan kebenaran.

Para seniman yang tampil malam itu tidak hanya sedang memperingati Hari Puisi Nasional. Mereka sedang menjalankan fungsi sosial seni yang sesungguhnya: menjadi suara hati nurani masyarakat, menjadi cermin kritis terhadap realitas, dan menjadi pembawa pesan harapan untuk masa depan yang lebih baik.

BACA JUGA:  Dua Terduga Pelaku Penganiayaan di Poboya Ditangkap

Refleksi di Bawah Cahaya Bulan

Ketika acara berakhir dan para seniman mulai beranjak pulang, bulan masih setia bersinar di langit Palu. Air mancur masih terus memuncrat, menciptakan suara lembut yang seolah menjadi applause untuk para seniman yang telah berani menyuarakan hati mereka.

Malam itu akan dikenang bukan hanya sebagai peringatan Hari Puisi Nasional, tetapi sebagai malam ketika para seniman Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa mereka masih peduli, masih kritis, dan masih memiliki harapan besar untuk bangsa, negara, dan daerah mereka.

Di halaman kantor DPRD yang biasanya sunyi, malam itu telah terjadi sesuatu yang luar biasa: pertemuan antara seni dan kekuasaan, antara suara rakyat dan rumah rakyat, antara kritik dan harapan. Dan semuanya dikemas dalam keindahan puisi yang mengalir bersama cahaya bulan yang tidak pernah lelah menerangi bumi Kaili ini.

Parade Puisi di halaman DPRD Sulteng malam itu bukan hanya acara seni biasa. Ia adalah manifesto bahwa seniman tidak pernah berhenti bermimpi, tidak pernah berhenti berharap, dan tidak pernah berhenti berani berteriak untuk bangsa, negara, dan daerah mereka. (bmz)

Scroll to Top