beritapalu.id
Sunday, 7 Dec 2025
🌐 Network
pojokPALU pojokPALU pojokSIGI pojokSIGI pojokPOSO pojokPOSO pojokDONGGALA pojokDONGGALA pojokSULTENG pojokSULTENG bisnisSULTENG bisnisSULTENG bmzIMAGES bmzIMAGES rindang.ID rindang.ID
Subscribe
beritapalu.ID
  • HOME
  • HEADLINE
  • PALU
  • SULTENG
    • Sigi
    • Poso
    • Buol
    • Tolitoli
    • Banggai
    • Morowali
    • Donggala
    • Tojo Unauna
    • Banggai Laut
    • Morowali Utara
    • Parigi Moutong
    • Banggai Kepualuan
  • BISNIS
  • POLITIK
  • LINGKUNGAN
  • OLAHRAGA
  • INSPIRASI
  • 🌐
  • Hukum-Kriminal
  • Seni-Budaya
  • Pendidikan
  • Kesehatan
  • Religi
  • Style
  • Region
  • Militer
  • Opini
  • Travel
  • Visual
  • Komunitas
📂 Lainnya ▼
Indeks Feature Advertorial Liputan Khusus
beritapalu.IDberitapalu.ID
Search
  • HOME
  • HEADLINE
  • PALU
  • SULTENG
    • Sigi
    • Poso
    • Buol
    • Tolitoli
    • Banggai
    • Morowali
    • Donggala
    • Tojo Unauna
    • Banggai Laut
    • Morowali Utara
    • Parigi Moutong
    • Banggai Kepualuan
  • BISNIS
  • POLITIK
  • LINGKUNGAN
  • OLAHRAGA
  • INSPIRASI
Have an existing account? Sign In
Follow US
© 2022 Foxiz News Network. Ruby Design Company. All Rights Reserved.
Opini

Soeharto: Antara Kehebatan dan Luka Sejarah

Published: 10 November, 2025
Share
Penulis buku "Soeharto memeang Hebat", Wawan H Purwanto bersama Muhammad Sadig. (©dok pribadi)
Penulis buku "Soeharto memeang Hebat", Wawan H Purwanto bersama Muhammad Sadig. (©dok pribadi)
SHARE

Oleh :  Muhammad Sadig Alhabsyie, M.A., Hum

Sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan 1945 telah ditandai oleh serangkaian transformasi politik yang mendalam, di mana tokoh-tokoh visioner sekaligus kontroversial memainkan peran sentral dalam membentuk identitas bangsa.

Di antara mereka, Jenderal Soeharto—Presiden Kedua Republik Indonesia—menjadi figur yang paling kompleks dan polarisasi. Memerintah selama 32 tahun, dari 1967 hingga 1998, era Orde Baru di bawah kepemimpinannya bukan hanya periode panjang kekuasaan, tetapi juga fondasi bagi modernisasi Indonesia yang masih terasa dampaknya hingga hari ini, pada 2025.

Warisan Ganda Seorang Pemimpin

Kepergian Soeharto pada 27 Januari 2008, di usia 86 tahun, memicu gelombang refleksi nasional yang terbelah: dari penghormatan sebagai “Bapak Pembangunan” hingga kecaman sebagai simbol otoritarianisme dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Buku Soeharto Memang ‘Hebat’: Menguak Tabir Pro dan Kontra di Balik Kepergiannya karya Wawan H. Purwanto (CMB Press, 2008), misalnya, muncul sebagai respons intelektual yang tepat waktu terhadap dinamika ini, menyajikan analisis seimbang yang menjadi dasar utama seminar ini. Dengan panjang 376 halaman, karya ini tidak sekadar kronologi, melainkan undangan untuk dialog mendalam tentang dualitas kepemimpinan Soeharto—sebuah “kehebatan” yang ironis, di mana pencapaian monumental dibayar dengan luka sosial yang abadi.

Lahirnya Orde Baru: Dari Kekacauan Menuju Stabilitas

Untuk memahami esensi seminar ini, kita perlu menyelami latar belakang historis era Orde Baru. Lahir dari kekacauan akhir Orde Lama di bawah Presiden Soekarno, Orde Baru dimulai secara formal melalui Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret 1966), yang memberikan wewenang luas kepada Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.

Latar belakangnya adalah krisis multidimensional: kegagalan konfrontasi dengan Malaysia (1963–1966), inflasi hiper yang mencapai 650% pada 1965, dan puncaknya adalah peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Komandan Kostrad, memimpin operasi penumpasan yang brutal, menewaskan antara 500.000 hingga 1 juta orang—sebagian besar diduga anggota atau simpatisan PKI—dalam pembantaian massal yang menjadi noda hitam sejarah Indonesia.

Supersemar ini, yang hingga kini kontroversial karena dugaan pemalsuan atau pemaksaan terhadap Soekarno, menandai transisi kekuasaan. Pada 1967, Soeharto secara resmi menjadi Pejabat Presiden, dan pada 1968, ia terpilih secara “demokratis” melalui MPR, meskipun prosesnya didominasi oleh militer. Era Orde Baru, yang berlangsung hingga Reformasi 1998, dirancang sebagai koreksi terhadap “kekacauan” Orde Lama.

Struktur Kekuasaan dan Ideologi Orde Baru

Soeharto menerapkan konsep “demokrasi Pancasila” yang sebenarnya bersifat korporatis, di mana negara mengontrol semua aspek kehidupan melalui dwifungsi ABRI (Angkatan Berdiri Indonesia) dan Golkar sebagai partai dominan. Ciri utamanya adalah stabilitas politik yang ditegakkan dengan tangan besi: Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) menjadi alat represi terhadap oposisi, sementara sensor media dan pembatasan kebebasan berpendapat menjadi norma.

Keberhasilan Ekonomi dan Sosial Orde Baru

Namun, di balik otoritarianisme itu, Orde Baru berhasil membangun fondasi ekonomi yang kokoh. Program Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) pertama kali diluncurkan pada 1969, dengan fokus pada stabilisasi moneter melalui bantuan IMF dan Bank Dunia. Hasilnya mencengangkan: pertumbuhan PDB rata-rata 7% per tahun dari 1970-an hingga 1990-an, mengubah Indonesia dari negara miskin menjadi emerging economy.

Swasembada pangan dicapai pada 1984 melalui Revolusi Hijau, di mana produksi beras melonjak dari 12 juta ton menjadi 25 juta ton, mengurangi ketergantungan impor dan kemiskinan dari 60% menjadi 11% populasi. Infrastruktur nasional berkembang pesat: jaringan jalan tol, bandara internasional, dan irigasi sawah yang luas menjadi warisan konkret yang masih dimanfaatkan hari ini. Lebih dari itu, kebijakan sosial Orde Baru menunjukkan visi jangka panjang Soeharto.

Program Keluarga Berencana (KB) yang digulirkan sejak 1970-an berhasil menurunkan angka kelahiran dari 5,6 menjadi 2,3 per wanita pada 1990-an, mencegah ledakan demografis dan mendukung pembangunan manusia.

Pendidikan dasar ditingkatkan melalui Inpres SD (Instruksi Presiden Sekolah Dasar) 1973, yang membangun ribuan sekolah di pelosok, meningkatkan tingkat melek huruf dari 64% menjadi 90%.

Di bidang kesehatan, vaksinasi massal dan posyandu mengurangi angka kematian bayi secara signifikan. Stabilitas politik ini juga meredam konflik etnis dan agama yang meletus di era Soekarno, seperti pemberontakan DI/TII atau PRRI/Permesta, meskipun dengan biaya penindasan minoritas.

Pengamat seperti Daniel S. Lev dalam studinya tentang Orde Baru menyebut periode ini sebagai “keajaiban Asia” bagi Indonesia, di mana negara korporatis berhasil mengintegrasikan ekonomi pasar bebas dengan kontrol negara yang ketat, menarik investasi asing mencapai miliaran dolar dari Jepang dan Amerika Serikat.

“Keajaiban Asia” dan Citra Internasional Indonesia

Dampak positif ini tidak terbantahkan: Indonesia bergabung dengan ASEAN pada 1967, menjadi anggota G-77, dan bahkan diakui sebagai “Bintang Asia” oleh media internasional pada 1980-an.

Namun, “kehebatan” Soeharto tidak lepas dari bayang-bayang kegelapan yang kian pekat seiring berjalannya waktu. Di sisi negatif, rezim Orde Baru menjadi sinonim dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)—istilah yang dipopulerkan oleh mahasiswa selama Reformasi 1998.

Keluarga Soeharto, termasuk istrinya Tien Soeharto dan anak-anak seperti Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) serta Hutomo Mandala Putra (Tommy), menguasai monopoli bisnis: dari tol Trans-Jakarta hingga impor gula dan semen, menghasilkan kekayaan pribadi mencapai US$15–35 miliar menurut perkiraan Time Magazine.

Transparency International menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup di Asia Tenggara pada akhir 1990-an, dengan kerugian negara triliunan rupiah. Lebih tragis lagi adalah catatan pelanggaran HAM yang sistematis.

Sisi Gelap Kekuasaan: Represi dan Pelanggaran HAM

Pembantaian pasca-G30S 1965 bukan hanya pembuka, tapi pola yang berulang: invasi Timor Timur 1975 menewaskan 200.000 jiwa, termasuk pembantaian Santa Cruz 1991; kerusuhan Tanjung Priok 1984 yang menewaskan puluhan demonstran Islam; dan puncaknya kerusuhan Mei 1998 yang menewaskan 1.200 orang, mayoritas etnis Tionghoa, disertai pemerkosaan massal yang tak tertangani.

Otoritarianisme ini juga membungkam suara: pemilu diatur agar Golkar menang 70–80%, media seperti Tempo ditutup pada 1994, dan ribuan aktivis seperti Marsinah (buruh yang dibunuh 1993) menjadi korban hilang paksa. Kritik ini semakin relevan ketika kita melihat kejatuhan Orde Baru.

Kejatuhan Sang Penguasa

Krisis moneter Asia 1997–1998 memperburuk ketimpangan: rupiah anjlok dari Rp2.400 menjadi Rp17.000 per dolar AS, memicu demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan yang memaksa Soeharto mundur pada 21 Mei 1998. Transisi ke Reformasi membuka kotak Pandora: Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibentuk, tapi upaya pengadilan

Soeharto atas KKN gagal karena kesehatannya memburuk. Bahkan saat meninggal pada 2008, ia masih berstatus terdakwa di pengadilan Tipikor, meskipun kasusnya dicabut atas permohonan keluarga. Kematian Soeharto di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, setelah 23 hari perawatan intensif akibat gagal jantung dan infeksi, memicu reaksi publik yang mencerminkan polarisasi warisannya.

Wafatnya Soeharto: Antara Duka dan Kontroversi

Pada 27 Januari 2008, berita wafatnya menyebar cepat: kompleks Dalem Kalitan di Solo dipadati ribuan pelayat, termasuk keluarga dan tokoh seperti Megawati Soekarnoputri, yang menyatakan duka cita nasional.

Doa massal di masjid-masjid dan gereja menunjukkan simpati luas; bahkan di desa-desa Jawa Tengah, warga menggelar selamatan tradisional, mengenang Soeharto sebagai “pak harto” yang sederhana—seorang petani yang bersepeda ke kantor.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan pidato nasional, menyebutnya “pemimpin besar” yang membawa kemajuan, dan mengumumkan hari libur nasional untuk pemakamannya di TPU Giri Jati, Jakarta, pada 29 Januari—upacara kenegaraan yang dihadiri 500.000 orang.

Media seperti Kompas dan Tempo melaporkan suasana haru, dengan headline “Pak Harto Wafat dengan Tenang” dari tim dokter kepresidenan. Namun, reaksi ini jauh dari seragam.

Aktivis HAM seperti Yap Thiam Hien dari YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) mengecam pemberitaan media sebagai “tidak proporsional,” menuntut evaluasi atas pelanggaran HAM daripada glorifikasi.

Demonstrasi kecil di depan RSCM oleh kelompok seperti KontraS menuntut pengadilan penuh, dengan spanduk “Soeharto Bukan Pahlawan.” Majalah Tempo edisi Februari 2008 berjudul “Selesai Sudah,” mengkritik upaya pemerintah memberi predikat pahlawan nasional—yang akhirnya gagal—sebagai gegabah.

Di kalangan etnis Tionghoa, trauma Mei 1998 membuat banyak yang diam, sementara di Timor Leste, peringatan diadakan untuk korban invasi. Reaksi internasional pun terbelah: The New York Times memuji pencapaian ekonomi tapi menyoroti “rezim diktator,” sementara mantan Sekjen PBB Kofi Annan menyatakan penghormatan pribadi.

Secara keseluruhan, kematian ini menjadi cermin masyarakat pasca-Reformasi: 60% responden survei LIPI 2008 melihat Soeharto positif untuk pembangunan, tapi 70% menolak pengampunan atas HAM. Di sinilah buku Wawan H. Purwanto masuk sebagai jembatan.

Buku Wawan H. Purwanto: Menjembatani Dua Sisi Sejarah

Sebagai jurnalis dan pengamat intelijen yang dikenal dengan karya tentang terorisme, Purwanto menulis buku ini sebagai refleksi pasca-kematian, mengumpulkan wawancara dengan 50 narasumber dari berbagai spektrum: mantan menteri seperti Widjojo Nitisastro (pro-pembangunan), aktivis seperti Amien Rais (kritikus), hingga korban seperti keluarga korban 1965.

Strukturnya tematik: bagian awal merekonstruksi hari-hari terakhir Soeharto, bagian tengah mengurai pro (ekonomi, stabilitas) dan kontra (KKN, represi), serta penutup merefleksikan warisan untuk demokrasi.

Purwanto menggunakan istilah “hebat” secara ironis, menggemakan pidato Soeharto sendiri, untuk menekankan bahwa evaluasi harus holistik—bukan hitam-putih. Buku ini, yang tersedia di perpustakaan nasional seperti Perpusnas, menjadi rujukan akademis karena netralitasnya, meskipun edisinya langka kini.

Relevansi Refleksi Soeharto di Tahun 2025

Seminar Soeharto Memang ‘Hebat’: Refleksi Warisan Orde Baru pada 2025 ini relevan karena Indonesia masih bergulat dengan bayang Orde Baru. Krisis demokrasi kontemporer—seperti polarisasi politik, korupsi endemik (Indeks Persepsi Korupsi 2024 masih 34/100), dan tuntutan rekonsiliasi HAM (UU No. 20/2022)—menggemakan masa lalu.

Di era digital, diskusi sejarah sering terdistorsi oleh media sosial, membuat ruang dialog akademis seperti ini krusial. Dengan basis buku Purwanto, seminar ini bertujuan membuka wacana inklusif, melibatkan generasi muda yang lahir pasca-1998, untuk belajar dari dualitas Soeharto: bagaimana “kehebatan” membangun tapi juga merusak. Ini selaras dengan semangat Pancasila, yang menekankan musyawarah mufakat dan keadilan sosial, guna membangun Indonesia yang lebih matang.

(Mohammad Sadig Akademisi UIN Datokarama Palu/ Pemerhati Gerakan

Editor: beritapalu

TAGGED:Muhammad Sadig Alhabsyiesoehartowawan h purwanto
Share This Article
Facebook Whatsapp Whatsapp LinkedIn Email Copy Link
Previous Article Pengunjung memperhatikan lukisan yang dipajang pad apameran lukisan Ruang Rupa Rasa di Rumah Tiara Coffee, Palu, Minggu (9/11/2025) malam. (©bmzIMAGES/Basri Marzuki) Kanvas Bicara tentang “Rupa Ruang Rasa” di Rumah Tiara Coffee
Next Article Gubernur Sulteng, bersama unsur Forkopimda usai upacara peringatan Hari Pahlawan ke-80 di Lapangan Kantor Gubernur Sulteng, Senin (10/11/2025(). (©Humas Polda Sutleng) Hari Pahlawan, Kapolda Sulteng Ajak Teladani Semangat Patriotisme

Berita Terbaru

Penyerahan bantuan kemanusiaan dari Pemkot Palu ke Pemkot Padang Pariaman di Padang, Jumat (5/12/2025). (©Prokopim Setda Kota Palu/Fandi)
Nusantara

Pemkot Palu Salurkan Bantuan untuk Korban Bencana di Padang Pariaman

7 December, 2025
Sejumlah pemain memainkan teater berjudul 'Kapten Cuma Mau Pulang' yang disutradaria Annisa Saskia Putri pada Festival Teater Indonesia di Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (6/12/2025). (©bmzIMAGES/Basri Marzuki)
Palu

FTI 2025 Digelar di Palu, Hadirkan Kelompok Teater dari Berbagai Daerah

7 December, 2025
Sekretaris Daerah Kota Palu Irmayanti (tengah) bersama Direktur Festival Tetaer Indonesia Pradetyo Novitri (kiri) dan Sutradara Lentera Silolangi Annisa Saskia Putri (kanan) memukul gimba menandai pembukaan Festival teater Indonesia di Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (6/12/2025). (©bmzIMAGES/Basri Marzuki)
Palu

Sekot Palu Buka Festival Teater Indonesia, Ajang Pertemuan Seniman Nasional

7 December, 2025
Danrem 132/Tadulako Brigjen TNI Deni GUnawan memasangkan pita menandai pembukaan KKRI di Poso, Sabtu (6/12/2025). (©Penrem132)
Militer

Danrem 132/Tadulako Buka KKRI Gelombang III di Poso

7 December, 2025
Ciptasari Prabawanti, Direktur Yayasan Siklus Sehat Indonesia; Perwakilan UN Women Indonesia sekaligus Liaison untuk ASEAN, Ulziisuren Jamsran; Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Veronica Tan; serta Kepala Perwakilan UNFPA di Indonesia, Hassan Mohtashami, pada UNiTE 2025 Film Screening and Discussion dalam rangka 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. (©UN Woman/Putra Johan)
Komunitas

UNiTE 2025 Film Screening Serukan Stop Kekerasan Terhadap Perempuan

6 December, 2025

Berita Populer

Foto

10 Pemuda Cetuskan Kawasan Wisata Alam Buntiede di Desa Padende

25 October, 2021

Pelaku Pembunuhan di Taman Ria Akhirnya Ditangkap Polisi

28 July, 2021
Komunitas

Tak Ada Perempuan, Sikola Mombine “Gugat” SK Penetapan Anggota KPID Sulteng

10 January, 2022
Morowali Utara

Perahu Terbalik Dibawa Arus, Seorang Warga masih Dicari

14 December, 2021
Parigi Moutong

Banjir di Sidoan Barat Seret Seorang Warga

3 January, 2022

Logo BeritaPalu.id Akurat dan Terpecaya

Komitmen kami terhadap akurasi, netralitas, keberimbangan, dan penyampaian berita terkini telah membangun kepercayaan dari banyak audiens. Terdepan dengan pembaruan terkini tentang peristiwa, tren, dan dinamika terbaru.
FacebookLike
XFollow
InstagramFollow
YoutubeSubscribe
TelegramFollow
WhatsAppFollow
LinkedInFollow
MediumFollow
QuoraFollow
- Advertisement -
bmzimages.combmzimages.com

Dapatkan Info Terbaru

Masukkan email Anda untuk mendapatkan pemberitahuan artikel baru

Berita Terkait

Banjir bandang menerjang Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapsel (©Tangkapan layar media sosial)
Opini

PB HMI-MPO Desak Investigasi Keterkaitan Banjir Bandang Tapanuli Dengan Aktivitas Perambahan Hutan

beritapalu
ilustrasi kakao (©bmzIMAGES/Basri Marzuki)
Opini

Pembangunan Industri Kakao dan Pemenuhan Hak atas Kesejahteraan Petani di Parigi Moutong

beritapalu
Dialog kebangsaan yang diikuti sejumlah mahasiswa di kampus 2 UIN Datokarama, Kamis (6/11/2025). (©bmzIMAGES/Basri Marzuki)
Palu

Dema FTIK UIN Datokarama Palu Selenggarakan Seminar dan Dialog Kebangsaan

beritapalu
Ilustrasi (© Lukas Suwarso)
Opini

Relasi Frenemy Prabowo-Jokowi

beritapalu
beritapalu.ID
Facebook Twitter Youtube Instagram Linkedin

About US

beritapalu.ID adalah situs berita online berbasis di Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia. UU No.40/1999 dan Kode Etik Jurnalistik adalah panduan kami. Kecepatan memang penting, tapi akurasi pemberitaan jauh lebih penting. Kami berpihak kepada kebenaran dan kemaslahatan orang banyak dan idak semua berita yang disajikan mewakili pikiran kami. 

Managerial
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontak
  • Karir
Kebijakan
  • Disclaimer
  • Kode Perilaku
  • Privacy Policy
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Pedoman Media Siber
  • Indeks Berita

Kunjungi kami di

https://bmzimages.com

© 2025 by beritapalu.ID

PT Beritapalu Media Independen
All Rights Reserved.

Copyright © 2025 beritapalu.ID | Published by PT Beritapalu Media Independen | All Rights Reserved
Halaman
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?