PALU, beritapalu.ID | Dinding putih Rumah Tiara Coffee & Roastery yang tereltak di dekat Bandara Mutiara Sis Aljufri tiba-tiba berubah warna pada Minggu (9/11/2025) malam. Sejumlah kanvas penuh warna tergantung berdampingan—oranye, hijau, merah, biru dan warna lainnya—berpadu dengan figur-figur absurd yang seolah bercerita dalam bahasa rahasia mereka sendiri. Di depannya, seorang pengunjung berhijab hitam berdiri terpaku, kepalanya miring, matanya menelusuri setiap goresan.
Ini bukan sekadar pameran lukisan biasa. Ini adalah “Rupa Ruang Rasa”—sebuah pertemuan antara beragam bentuk visual, ruang ekspresi, dan rasa yang ingin disampaikan para seniman Palu.
Empat Perupa, Empat Dunia
Pameran yang diprovokatori oleh Lampurio ini menghadirkan karya empat perupa Palu, Sulawesi Tengah: Agit Bunga, Narcho, Gusde, dan Nofarren Fernanda. Masing-masing membawa gaya dan karakter lukisan yang berbeda. Tak ada tema yang mengikat. Tak ada aturan yang membatasi. Setiap seniman bebas menyampaikan cerita apa pun melalui karyanya.
“Karena itu, ‘Rupa Ruang Rasa’ menjadi ruang bersama yang mempertemukan berbagai sudut pandang, pengalaman, dan suasana,” ujar Lamporio.
Agit Bunga membawa dunia surrealisme dengan warna-warna berani dan figur-figur yang seolah melompat dari mimpi. Narcho mengeksplorasi dinamika urban dengan garis-garis tegas dan komposisi geometris. Gusde menyelami narasi personal lewat simbolisme yang kental, sementara Nofarren Fernanda menghadirkan ekspresi bebas penuh energi dengan sapuan kuas yang liar dan spontan.
Keempat dunia itu bertemu di satu ruang—Rumah Tiara Coffee & Roastery—yang bukan sekadar kedai kopi, tapi juga wadah kreatif dan kesenian di Kota Palu.
Lebih dari Sekadar Pameran
Pemilihan Rumah Tiara sebagai lokasi pameran bukan tanpa alasan. Tempat ini, yang dikenal menyajikan kopi terbaik dari Sulawesi Tengah, juga membuka diri sebagai ruang alternatif bagi para seniman lokal untuk berekspresi.
“Kami ingin menciptakan ruang di mana seni dan kehidupan sehari-hari bisa bertemu. Di mana orang datang untuk minum kopi, lalu tanpa sengaja menemukan karya seni yang menyentuh mereka,” ujar pengelola Rumah Tiara.
Usai pembukaan dan melihat langsung pameran, kegiatan dilanjutkan dengan diskusi bersama para perupa. Di sinilah hal menarik terjadi. Bukan hanya tentang teknik melukis atau inspirasi di balik karya, tapi juga tentang masa depan seni rupa di Palu.
Momentum itu disepakati menjadi titik balik bagi kebangkitan seni rupa di Kota Palu.
Titik Balik Kebangkitan
Selama bertahun-tahun, seni rupa di Palu seperti tidur panjang. Ruang pamer terbatas, apresiasi publik minim, dan para seniman muda kesulitan menemukan platform untuk menampilkan karya mereka. Banyak yang akhirnya pindah ke kota lain atau beralih profesi.
Tapi malam itu, di tengah aroma kopi dan gelak tawa pengunjung, ada harapan baru yang muncul.
“Kegiatan ini juga menandai langkah strategis untuk menumbuhkan talenta-talenta muda untuk menampilkan karyanya melalui berbagai platform media termasuk digital,” ujar salah satu perupa yang hadir.
Diskusi berlangsung hangat. Ada yang membahas pentingnya dokumentasi karya secara digital, ada yang mengusulkan kolaborasi dengan komunitas kreatif lain, ada pula yang berbagi pengalaman pahit dan manis sebagai seniman lokal.
Yang paling penting, semua sepakat: seni rupa Palu butuh ekosistem yang sehat. Butuh ruang pamer yang konsisten, butuh kurator yang paham konteks lokal, butuh publik yang terdidik, dan butuh media yang mau meliput.
Mengundang Refleksi
Pameran “Rupa Ruang Rasa” berlangsung hingga Kamis (13/11/2025) di Rumah Tiara Coffee & Roastery Palu. Selama lima hari, pengunjung diundang untuk menikmati keberagaman ini—melihat bagaimana setiap rupa menciptakan ruang, dan bagaimana setiap ruang memunculkan rasa.
Bagi sebagian pengunjung, lukisan-lukisan itu hanyalah warna dan bentuk. Tapi bagi yang mau berhenti sejenak dan merenungkannya, ada cerita yang tersembunyi di balik setiap goresan—cerita tentang identitas, tentang perjalanan, tentang harapan.
“Saya nggak ngerti seni,” ujar salah seorang pengunjung sambil tersenyum. “Tapi lukisan ini bikin saya ngerasa… entah lah, kayak ada yang bergerak di dalam diri.”
Mungkin itulah yang dimaksud dengan “rasa” dalam “Rupa Ruang Rasa”. Bukan sesuatu yang bisa dijelaskan dengan kata-kata, tapi sesuatu yang dirasakan—dalam hening, dalam keheningan, dalam percakapan tanpa suara antara kanvas dan mata yang melihatnya.
Dan ketika pengunjung berhijab hitam itu akhirnya melangkah pergi, ia sempat menoleh sekali lagi ke arah lukisan yang tadi ia tatap lama. Seolah tak rela meninggalkan percakapan yang belum selesai.
Di dekat bandara, di antara aroma kopi dan gelak tawa, seni rupa Palu perlahan bangun dari tidur panjangnya.
View this post on Instagram
pojokPALU
pojokSIGI
pojokPOSO
pojokDONGGALA
pojokSULTENG
bisnisSULTENG
bmzIMAGES
rindang.ID
Akurat dan Terpecaya