PALU, beritapalu.ID | Solidaritas Perempuan (SP) mengungkap konflik agraria yang dihadapi masyarakat Desa Watutau, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, dalam konflik lahan pertanian dan peternakan dengan Badan Bank Tanah. Saat ini 12 orang petani harus menghadapi kriminalisasi oleh pihak Polres Poso, dengan 1 orang di antaranya telah ditetapkan sebagai tersangka.
Perempuan pemimpin di Desa Watutau menyampaikan keprihatinannya atas situasi yang dihadapi masyarakat. “Kalau kami meminta mediasi tentang bank tanah, kami selalu dihadapkan dengan aparat. Apa salah kami? Kalau pencuri masuk desa diberi denda atau sanksi, sedangkan tanah kami dicuri, kami yang dilaporkan. Itu yang menjadi pertanyaan,” ujarnya dalam pernyataan yang disampaikan dalam peringatan Hari Pangan Sedunia 2025, Rabu (16/10/2025).
SP menegaskan bahwa perampasan lahan tidak hanya mengancam mata pencaharian masyarakat, tetapi juga kelestarian lingkungan dan budaya lokal seperti menganyam tikar dan menanam jagung, sayur-sayuran, serta kacang-kacangan yang tidak mengandung pestisida. Perampasan lahan sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat, khususnya perempuan.
Di wilayah lain Sulawesi Tengah, tepatnya di Kabupaten Poso, program pemerintah dengan penyeragaman bibit juga mengancam pangan lokal perempuan. Bibit pangan lokal seperti jagung pulut mulai tergerus berganti menjadi bibit hibrida.
Wemi Ngau, perempuan dari Desa Kuku, menyampaikan kekhawatirannya terkait kebijakan baru Pemerintah Kabupaten Poso yang bekerja sama dengan perusahaan perkebunan durian untuk meningkatkan ekspor durian montong ke pasar global.
“Hal ini akan mengancam lahan-lahan pertanian milik perempuan yang akan dialihkan menjadi perkebunan durian montong. Pemerintah daerah Kabupaten Poso telah melakukan sosialisasi tentang perkebunan durian tersebut dan akan menggunakan lahan desa sebagai perkebunan durian,” ujar Wemi.
Ia menjelaskan bahwa kebijakan ini akan mengancam kebun kolektif yang telah ditanami padi ladang dan jagung pulut. Kebun kolektif tersebut diolah oleh kelompok perempuan petani Desa Kuku dan merupakan lahan desa yang dipinjam pakai oleh kelompok perempuan untuk bercocok tanam.
“Penting untuk mendorong adanya kebijakan yang melindungi wilayah tata kelola perempuan,” tambahnya.
Konflik Agraria di Berbagai Daerah
Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Armayanti Sanusi, menyatakan bahwa ketimpangan penguasaan pangan dan sumber agraria tidak terlepas dari politik pangan global yang berwatak neoliberalisme dan privatisasi.
“Kebijakan dan program pangan yang berorientasi pada ekstraktivisme skala besar telah terbukti banyak menimbulkan masalah struktural dan pemiskinan sistemik bagi produsen pangan perempuan seperti nelayan, petani, dan perempuan adat,” tegasnya.
Berdasarkan pengalaman SP yang telah 34 tahun bekerja bersama perempuan akar rumput, saat ini ada di 12 komunitas Solidaritas Perempuan di 10 provinsi di Indonesia, bekerja di 105 desa dengan fokus memperkuat 6.843 perempuan. Data tersebut memperlihatkan berbagai kebijakan dan proyek yang tidak berpihak kepada rakyat dan semakin memisahkan perempuan dari tanah dan lahannya.
Di Sulawesi Selatan, perempuan petani di Polongbangkeng berkonflik dengan PTPN di Takalar, serta peminggiran akses dan kontrol perempuan nelayan dari sumber pangannya di pesisir Tallo, Buloa, Cambaya Kota Makassar demi kepentingan bisnis jasa pelayaran Pembangunan Pelabuhan Makassar New Port.
“Program pemerintah mengambil alih sumber penghidupan-pangan perempuan seperti air, tanah, pesisir, laut, memicu konflik agraria berkepanjangan antara petani dengan perusahaan,” ujar Suryani, BEK SP Anging Mammiri.
Di Sulawesi Tenggara, reklamasi Teluk Kendari berdampak pada perempuan pesisir yang mengalami penurunan tangkapan ikan. “Perempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, termasuk perencanaan tata ruang laut dalam kebijakan pembangunan,” ujar Christine, BEK SP Kendari.
Konflik serupa juga terjadi di berbagai wilayah Indonesia, mulai dari Nusa Tenggara Timur dengan proyek Geothermal di Poco Leok dan rencana Pembangunan Bendungan Kolhua, Lampung dengan pembangunan bendungan di wilayah Marga III, hingga Nusa Tenggara Barat dengan Pembangunan Bendungan Meninting dan program lumbung jagung nasional di Sumbawa.
Seruan kepada Pemerintah
Armayanti menyerukan kepada pemerintahan Prabowo-Gibran untuk menghentikan kekuasaan Autocratic Legalism dan mengembalikan kedaulatan pangan kepada rakyat dan perempuan.
“Solidaritas Perempuan mendesak pemerintah memastikan keadilan pangan dengan menjamin adanya akses yang setara dalam penguasaan dan pengelolaan produksi pangan bagi kelompok rentan, termasuk mengedepankan pengakuan identitas perempuan produsen pangan, perlindungan budaya, dan resiliensi pangan lokal di tengah krisis iklim,” tegasnya.
Pernyataan ini disampaikan dalam rangka memperingati Hari Pangan Sedunia yang jatuh setiap tanggal 16 Oktober. Hari Pangan Sedunia bermula dari konferensi Food and Agriculture Organization (FAO) ke-20 tahun 1979 di Roma yang memutuskan resolusi mengenai World Food Day. Resolusi disepakati oleh 147 negara anggota FAO, termasuk Indonesia, dengan salah satu tujuannya menegaskan pangan sebagai hak asasi manusia. (afd/*)