
Menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) memang enigmatik. Di satu sisi dianggap teknokrat profesional yang berusaha menjaga integritas fiskal, di sisi lain dituding sebagai mesin kekuasaan nir-empati. Ia sosok yang dipercaya mengelola APBN oleh tiga presiden, dipuji oleh sejumlah lembaga keuangan asing, namun dianggap sebagai “ratu tega” dalam memajaki rakyat biasa.
Pernyataannya SMI terbaru bahwa gaji guru dan dosen menjadi tantangan keuangan negara, memunculkan tanda tanya. Ia meminta partisipasi masyarakat untuk membantu para guru. Pernyataannya ini kemudian ditafsir-plesetkan, bahwa gaji guru menjadi “beban” negara.
Ironisnya, SMI belum lama ini dengan suka cita, tanpa beban, menaikkan tunjangan rumah dan mobil anggota DPR, juga beaya akomodasi pejabat menginap di hotel. Untuk politikus dan birokrat yang sudah makmur ia ringan tangan membuka brankas negara menaburkan pundi-pundi. Namun untuk guru honorer, dan rakyat kecil, ia begitu berat hati.
Persoalan SMI adalah soal pemihakan. Hampir 20 tahun di lingkaran kekuasaan, sensitivitas sosialnya sepertinya makin padam. Ia cenderung semakin ingin “menyenangkan orang senang dan menyusahkan orang susah” (to comfort the comfortable, to aflict the afflicted).
Almarhum Rizal Ramli, ekonom, pernah menjuluki SMI sebagai “Sales promotion girl (SPG) Bank Dunia”. Ekonom Universitas Gadjah Mada, Revrisond Baswir, juga menilai SMI sebagai “antek asing”. Prabowo Subianto, saat masih sebagai “oposisi” pada 2019, , pernah menyebut SMI sebagai “menteri pencetak utang”. Namun, apapun kata orang, suka atau tidak, SMI selalu dipercaya menjadi polisi keuangan negara.
Siapa sebenarnya Sri Mulyani? Teknokrat yang teguh, “a man for all seasons”, mampu bertahan di segala cuaca politik. Atau pemindai angin (Weather vane) yang pintar mengantisipasi arah angin politik? Seperti baling-baling cuaca di atap istana: yang selalu tahu arah kebijakan presiden yang berbeda.
Pada era Presiden SBY, SMI dikenal sebagai penjaga integritas fiskal dan reformasi birokrasi perpajakan. Di era Jokowi, ia dipersepsikan sebagai “juru bayar pembangunan besar” (IKN, PSN, infrastruktur, bansos politik). Di era Prabowo: ia jadi “bendahara populis” makan bergizi gratis 400 triliun, Koperasi Merah Putih 458 triliun, juga dana daulat negara Danantara 14 ribu triliun.
“Prestasi” SMI, 10 tahun tetakhir, adalah menuruti dan memfasilitasi ambisi proyek-proyek politik Presiden Jokowi (IKN, infrastruktur, proyek strategis nasional). Sukses membuat utang Indonesia meroket, dari 2.000 triliun di akhir pemerintahan SBY, menjadi 10.000 triliun di awal presiden Prabowo.
SMI akan selalu dikenang oleh generasi mendatang sebagai sosok yang ikut mewariskan beban utang untuk rakyat Indonesia hingga tiga belas turunan. Sosok teknokrat profesional yang memberi legitimasi pada kebijakan serampangan pemerintah. Ia sintas (survivor) di tiga rejim kekuasaan yang berbeda karakteristiknya. Tidak banyak, bahkan tidak ada, teknokrat yang bisa bertahan lintas presiden.
Yang mendekati sukses SMI, walau agak berbeda, mungkin adalah Menteri Penerangan Harmoko. Ia mampu bertahan 14 tahun menjadi menteri penerangan (1983 -1997) di era Presiden Soeharto. SMI adalah Harmoko versi menteri keuangan, yang berhasil konsisten menjaga dan mengumumkan “stabilitas harga bawang dan cabe keriting”.
Beda dengan Harmoko yang kemudian jadi politikus Golkar, SMI unik karena bukan politisi partai. Mungkin ia akan terus dianggap “teknokrat inosense”, ketika pemerintahan dianggap gagal melaksanakan amanat konstitusi. Bahkan dalam soal keuangan, kegagalan itu tidak akan ditimpakan ke SMI, tapi akibat salah hitung presiden atau politikus yang mengelilinginya.
SMI tetap anggun, rileks, dan percaya diri menjelaskan keuangan negara, saat warga Pati mendemonstrasi bupatinya karena tercekik pajak. Puluhan bupqti yang menaikkan pajak kini tengah was-was karena khawatir “dipatikan” oleh rakyatnya.
Kini Jokowi dihujat untuk berbagai proyek ambisiusnya yang mangkrak dan kedodoran harus bayar utang. Jika itu dipersoalkan terkait keterlibatan SMI, ia tinggal meniru ucapan terkenal Jokowi cum Harmoko, “jangan tanya saya, itu sesuai petunjuk bapak presiden”.
Di era Prabowo, SMI dengan ekspresi dingin menyampaikan soal defisit RAPBN dan utang negara yang kini mencapai lebih dari 10.000 triliun. Ia dengan percaya diri, dan sisiran rapi, mengumumkan tanpa beban, bahwa “harga cabai keriting”, eh, kondisi keuangan negara, tetap terjaga stabil. ***
—-
*) Mantan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI)