Yayasan Sikola Mombine Desak Penegakan Hukum Usut Anak Bunuh Diri

PALU, beritapalu | Tragedi bunuh diri yang menimpa seorang anak di bawah umur bernama Amri di Desa Beko/Awo, Kecamatan Togean, Kabupaten Tojo Una-una, memicu kemarahan Yayasan Sikola Mombine. Organisasi masyarakat sipil ini mendesak berbagai pihak untuk mengawal kasus dugaan bullying yang diduga menjadi pemicu kematian anak tersebut.
Amri ditemukan meninggal dunia diduga akibat bunuh diri hanya lima hari setelah dituduh mencuri uang Rp 500.000 oleh Sekretaris Desa (Sekdes) berinisial SM. Tuduhan tersebut disampaikan tanpa dasar bukti yang jelas dan dilakukan secara terbuka, sehingga menciptakan tekanan psikis berat pada korban.
Berdasarkan keterangan keluarga, almarhum Amri mengalami tekanan psikis berat setelah tuduhan pencurian tersebut. Tuduhan yang disampaikan secara terbuka dan menyudutkan korban secara sosial ini menciptakan kondisi mental yang sangat rentan pada diri anak tersebut.
“Peristiwa tragis ini merupakan bentuk kegagalan negara dalam melindungi anak dari kekerasan psikis dan stigma sosial,” Direktur Eksekutif Yayasan Sikola Mombine, Nur Safitri Lasibani dalam siaran persnya, Rabu (17/7/2025).
Yayasan tersebut menegaskan bahwa tindakan oknum aparatur desa yang menuduh anak secara sepihak bukan hanya mencoreng martabat korban, tetapi juga bertentangan dengan prinsip perlindungan anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Melanggar UU Perlindungan Anak
Dalam Pasal 1 angka 16 UU tersebut ditegaskan bahwa setiap perbuatan terhadap anak yang mengakibatkan penderitaan secara fisik atau psikis, termasuk ancaman dan perlakuan yang merendahkan martabat, merupakan bentuk kekerasan terhadap anak.
“Tuduhan palsu, intimidasi verbal, dan perlakuan menyudutkan yang diterima oleh korban merupakan bentuk kekerasan psikis yang sangat serius—dan dalam kasus ini, berujung pada kehilangan nyawa seorang anak,” ujar Nur Safitri.
Organisasi ini mengecam keras tindakan tidak manusiawi yang dilakukan oleh oknum aparatur desa tersebut. Mereka menegaskan tidak ada alasan pembenar atas kekerasan verbal terhadap anak, terlebih dilakukan oleh pihak yang seharusnya melindungi dan melayani masyarakat.
Lima Tuntutan Konkret
Yayasan Sikola Mombine mengajukan lima tuntutan kepada berbagai pihak terkait penanganan kasus ini:
Pertama, Bupati dan jajaran Pemerintah Daerah Kabupaten Tojo Una-una diminta memberikan perhatian penuh terhadap kejadian ini. Mereka juga diminta mengambil langkah serius untuk memastikan keluarga korban memperoleh hak atas keadilan, layanan bantuan hukum gratis sesuai Perda Bantuan Hukum bagi Warga Miskin, serta layanan pemulihan psikososial.
Kedua, Sekretaris Daerah dan Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Tojo Una-una diminta segera mengambil tindakan administratif dengan memberikan sanksi tegas kepada oknum Sekdes berinisial SM. DPRD Kabupaten Tojo Una-una juga diminta segera melakukan Rapat Dengar Pendapat (hearing) bersama Kepala Dinas PMD.
Ketiga, Kapolres Tojo Una-una diminta memberikan atensi serius terhadap penegakan hukum dalam kasus ini. Penanganan kasus kekerasan terhadap anak tidak boleh berhenti hanya pada berita acara wawancara (BAW), melainkan harus ditindaklanjuti dengan proses penyelidikan menyeluruh yang berperspektif perlindungan anak.
Keempat, Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPA) Provinsi Sulawesi Tengah diminta segera melakukan intervensi nyata dalam bentuk pendampingan hukum, dukungan psikososial bagi keluarga korban, serta mengawal jalannya proses hukum hingga tuntas.
Kelima, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) diminta memberikan perhatian maksimal dan mengambil langkah konkret dalam mendukung upaya penegakan hukum yang adil dan berpihak kepada keluarga korban.
Yayasan Sikola Mombine menegaskan bahwa kasus ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi tragedi sosial akibat pembiaran terhadap kekerasan psikis yang dibiarkan terjadi di tingkat komunitas.
“Kami menolak menyebutnya sebagai ‘musibah biasa’. Ini adalah bentuk kekerasan sistemik yang harus diakhiri,” tegas organisasi tersebut.
Mereka menyerukan kepada seluruh pemangku kepentingan di sektor perlindungan anak agar tidak lagi menormalisasi kekerasan verbal, intimidasi, dan penyalahgunaan kuasa oleh aparat desa. Setiap anak berhak hidup dalam lingkungan yang aman, bebas dari kekerasan, dan berhak untuk tumbuh dengan martabat.
“Tidak boleh ada lagi anak-anak yang kehilangan nyawa karena diamnya kita. Keadilan untuk Amri adalah tanggung jawab kita bersama,” tutup Nur Safitri. (afd/*)