Ironi Seribu Megalit: Antara Slogan dan Lubang Tak Berujung

POSO, beritapalu | Kabut pagi masih menggantung di antara perbukitan Napu dan Behoa, membingkai tenang Lembah Lore yang menyimpan kekayaan prasejarah Nusantara. Namun di bawah pesona purba itu, jalanan retak, berlubang, dan longsor perlahan-lahan menjadi batas yang memisahkan sejarah dari pengunjungnya.
Jalur Napu–Behoa, satu-satunya akses menuju dua ikon megalitikum Sulawesi Tengah—Pokekea dan Tadulako—sudah bertahun-tahun rusak parah. Bukan sekadar tidak mulus, namun berbahaya. Lubang-lubang dalam, tumpukan batu lepas, dan kubangan lumpur kerap menjerat kendaraan. Di musim hujan, kendaraan bermotor bahkan terpaksa ditinggalkan, dan pengunjung harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki atau menumpang truk warga.
“Kami ingin mengenalkan warisan dunia ini, tapi akses ke sana seakan tidak pernah dianggap penting,” keluh Sunardi, pemandu wisata lokal asal Desa Doda.
Warisan Budaya Dibatasi Medan
Sulawesi Tengah sudah mendeklarasikan diri sebagai “Provinsi Seribu Megalit”, membanggakan keberadaan patung batu, kalamba, dan struktur batu kuno di Lembah Napu dan Bada. Bahkan, Festival Tampo Lore telah digelar empat kali berturut-turut, menghadirkan tamu nasional dan internasional untuk merayakan identitas budaya Sulawesi Tengah.
Namun, selama itu pula, jalan penghubung ke ikon megalit tetap rusak, tanpa intervensi berarti dari pemerintah.
“Setiap festival, spanduk besar dipasang, tamu datang. Habis itu, kami kembali bergelut dengan jalan rusak dan lumpur,” kata warga Desa Torire.
Potensi Wisata yang Terkubur
Pokekea dan Tadulako bukan sekadar batu tua—mereka adalah saksi hidup peradaban yang diperkirakan berusia lebih dari 3.000 tahun. Kalamba, bejana batu raksasa yang tersebar di situs ini, telah menjadi perhatian arkeolog internasional karena keunikan bentuk dan nilai ritualnya.
Namun potensi wisata dan edukasi ini tak bisa berkembang. Tak sedikit pengunjung mengurungkan niat setelah membaca ulasan tentang medan ekstrem dan minimnya fasilitas dasar. Riset, dokumentasi, dan pelestarian budaya pun terhambat.
“Kalamba itu sudah mendahului semua kita. Tapi yang lebih purba sekarang adalah jalannya,” ujar Dafa, peneliti budaya asal Makassar, setengah berkelakar.

Jalan Bukan Pelengkap, Tapi Kebutuhan Dasar
Warga telah berkali-kali mengajukan permintaan perbaikan melalui musrenbang desa, media lokal, hingga forum publik. Namun hasilnya nihil. Program pembangunan menyasar tempat lain, sementara Behoa dan Napu seperti “dianaktirikan”.
“Kami tidak minta istana. Kami hanya minta jalan. Supaya tamu bisa sampai, anak bisa sekolah, warga bisa hidup lebih layak,” ujar Kepala Desa Bariri.
Saat Kata Tidak Sejalan dengan Langkah
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah telah menjadikan “Seribu Megalit” sebagai identitas resmi. Tapi di balik slogan itu, jalan menuju situs purba ini tetap terperosok dalam lumpur retoris.
Pokekea dan Tadulako tetap berdiri kokoh, menantikan langkah-langkah baru yang ingin memahami masa lalu. Tapi selama jalur menuju mereka rusak tanpa solusi, seribu megalit akan tetap jadi seribu alasan untuk tidak datang.
Di tengah semangat promosi pariwisata berbasis kearifan lokal, infrastruktur seharusnya menjadi tulang punggung utama. Jalan bukan sekadar akses fisik, melainkan jembatan antara sejarah dan masa depan, antara keingintahuan dan kenyataan.
Selama jalur menuju Pokekea dan Tadulako masih rusak, seruan “Seribu Megalit” hanya akan terdengar sebagai gema tanpa jejak. Sebab tak ada warisan budaya yang akan hidup bila ia dipisahkan oleh lumpur, longsor, dan ketidakpedulian. (bmz)