Oleh: Muh. Abidzar Qiffary Day *)
Presiden Indonesia Joko Widodo (2014-2024) pernah dalam suatu kesempatan di Surabaya mengatakan bahwa di Indonesia ada 42.000 regulasi mulai dari UU hingga Peraturan Daerah telah ikut menghambat lahirnya temuan baru yang inovatif. Kegelisahan Presiden itu meskipun cerita lama, semestinya harus menjadi catatan kita hari ini. Betapa tidak, akibat terjadinya perubahan yang melesat begitu cepat yang dipengaruhi oleh liberalisme ekonomi serta kemajuan teknologi, kita dituntut segera membenahi banyak hal kaitannya dengan inovasi budaya sehingga kita dapat melangkah dengan cepat dalam merespon pembangunan bangsa di masa depan.
Ketimpangan Inovasi antara Barat dan Nusantara
Masalah inovasi budaya dewasa ini masih menjadi isu sentral oleh berbagai pihak di Indonesia. Isunya adalah perkembangan inovasi budaya di masyarakat tampaknya tumbuh sangat lamban, tidak seiring dengan laju pergerakan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia saat ini. Karena itu kita bangsa Indonesia perlu mengambil langkah strategis sehingga kita dapat melangkah dan mengikuti jejak bangsa-bangsa lain di dunia.
Seperti diketahui dalam sejarah bahwa inovasi budaya yang tumbuh dan berkembang di Eropa sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi alam di Nusantara. Dari catatan sejarah, pemicu awal penemuan alat transportasi sepeda oleh Baron Karl Von Drais disebabkan oleh akibat letusan gunung Tambora di Sumbawa pada April 1815 sebagai pengganti kereta kuda.
Tentu bisa dipahami mengapa Bangsa Eropa punya budaya inovatif. Mereka merespon akibat bencana dengan usaha yang kreatif menciptakan produk teknologi baru untuk memudahkan hidup mereka. Tanpa itu, mereka akan mengalami kesulitan. Di Nusantara, semua serba mudah, tidak ada kuda mati karena rumput tetap hidup. Matahari tersedia sepanjang tahun. Kuda dan kereta kuda tetap bisa beroperasi. Kebudayaan alam dan iklim yang menguntungkan telah membuat kita hidup nyaman, tidak ada tantangan.
Pada dekade berikutnya orang Eropa membuat temuan baru berupa telegram. Sebab itu, ketika Gunung Krakatau meletus dengan dahsyat pada 1883, kabar peristiwa itu bisa langsung diketahui di Belanda berkat telegram yang dikirim dari Batavia. Orang Eropa rajin meneliti dan membuat temuan inovatif di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Maka lahirlah karya-karya besar berupa algoritma dan produk teknologi. Sebut saja Newton, dia keluar dengan teori gravitasi dan hukum mekanika. Leibniz menemukan teori kalkulus, dan banyak lagi temuan di bidang kesehatan dan teknologi, seperti vaksin dan mesin uap. Sementara di sini pujangga kita sibuk menciptakan karya inovasi berupa tembang macapat, gurindam dan karya sastra lain yang lebih kental aroma seninya daripada ilmu pengetahuan dan teknologi.
Mungkin, bakat kita memang lebih ke seni. Maka tidak mengherankan jika pada 1992, M. Dorigo, seorang mahasiswa PhD dari Italia, dapat inspirasi temuannya di bidang komputasi berupa algoritma Ant Colony Optimization setelah mengamati perilaku semut. Sementara Grup Rock legendaris God Bless terinspirasi semut untuk membuat lagu “Semut Hitam”. Binatang yang sama, yang satu menghasilkan algoritma untuk menyelesaikan masalah optimasi kombinasional, yang satu menghasilkan tembang rock.
Potensi Inovasi yang Terpendam
Budaya melakukan inovasi atau sebutlah budaya inovatif sebenarnya sudah melekat pada diri bangsa ini. Kita punya budaya bagus dalam hal pengobatan. Banyak jamu warisan Nenek Moyang berasal dari tanaman atau hewan. Kita punya keahlian memijat urat keseleo atau mengobati tulang retak atau tulang patah dengan operasi khas kita. Kita punya teknik menolak hujan dengan kekuatan pawang. Kita juga punya ahli ketok magic yang bisa membetulkan mobil penyok dengan cepat dan hasil memuaskan.
Sayangnya, temuan inovatif itu jarang ditulis dan ditularkan secara massal melalui lembaga pendidikan. Teknik-teknik dan warisan Nenek Moyang itu sering tersebar hanya melalui budaya tutur dan kadang terkesan mistis tanpa ada penjelasan ilmiah dan bisa diterima akal sehat. Dengan begitu, hasil karya hebat itu berkembang turun-temurun dalam jumlah yang sangat minim dan tertutup.
Hambatan Budaya dan Struktural
Ada beberapa penyebab mengapa temuan inovatif dan budaya inovatif kurang berkembang di negeri kita.
Pertama, industri kita murninya adalah industri yang lebih banyak menjual dan merakit, bukan membuat produk. Dalam industri yang menjual dan merakit, inovasi tidak jadi kebutuhan utama. Karena itu, kegiatan riset dan pengembangan sebagai instrumennya juga tidak dibutuhkan. Industri jenis ini tidak peduli temuan-temuan di perguruan tinggi dan lembaga riset yang bisa dikembangkan menjadi produk jadi.
Kedua, kendala pemasaran. Peneliti dan investor di negara maju mungkin tidak khawatir, apakah temuannya bisa dipasarkan. Di negara maju jika ada temuan baru dan susah memasarkan mereka bisa “menumpang” di organisasi dunia seperti PBB dan WHO.
Ketiga, sikap kita sendiri yang sering menganggap remeh terhadap karya anak bangsa. Sikap import minded harus diakui masih belum hilang. Kebanggaan akan produk sendiri masih rendah.
Keempat, faktor regulasi. Regulasi kita berjalan lambat dan kadang tidak sesuai dengan laju perkembangan zaman. Terlalu banyaknya aturan ini ikut menghambat lahirnya temuan baru yang inovatif.
Serangkaian faktor tersebut merupakan indikator penyebab mengapa temuan inovatif kurang berkembang di sini. Budaya kita cenderung juga kurang mendukung kerja inovasi kecuali pada karya-karya seni atau kuliner. Kalau pun ada yang di luar seni, tidak bersifat ilmiah yang bisa disebarkan secara massal dan terbuka. Kalau kita akan berkompetisi di dalam inovasi kita harus memilih di sektor mana.
Fokus Inovasi Budaya
Karena itu kita bisa fokus mengembangkan karya inovasi di bidang-bidang dimana kita unggul, seperti seni, kuliner dan obat herbal. Disamping itu juga mengembangkan pariwisata berbasis seni budaya. Kekayaan seni budaya kita mendukung untuk itu. Pengembangan obat herbal, tanaman organik, serta industri kuliner juga merupakan kekayaan kita yang lain. Dalam bidang ini kalau kita bisa membuat inovasi, potensi pasar dalam negeri sudah cukup besar untuk menggerakkan ekonomi. Tinggal bagaimana dukungan regulasi.
Kita juga harus mengembangkan budaya inovasi dalam artian etos kerja dan sikap serta pola berpikir baru yang lebih bermanfaat. Misalnya budaya di pemerintahan, hukum dan politik. Budaya melayani dan membuat yang sulit jadi mudah. Di sisi pemerintahan perlu menciptakan inovasi dalam birokrasi, hukum dan perizinan. Misal penggunaan E-Budgeting, E-Procurement, dan E-Government adalah contoh inovasi yang mampu mempercepat proses sekaligus menghilangkan peluang kebocoran dan korupsi.
Sistem layanan yang lain perlu dibuat sistem daring sehingga memangkas waktu layanan dan mempermudah masyarakat mendapatkan layanan. Inovasi di bidang politik antara lain bisa diwujudkan dalam cara-cara kampanye yang inovatif, tidak mengumbar janji yang tidak masuk akal, tidak mengumbar ujaran kebencian dan fitnah serta hoaks. Inovasi yang lain, misalnya perekrutan anggota partai politik dan calon anggota parlemen, dan inovasi penggalangan dana partai. Inovasi di bidang pemerintahan dan politik akan punya pengaruh besar dalam melahirkan karya-karya inovasi di bidang lain.
Penutup
Kita harus sadari bahwa inovasi adalah kunci dari perkembangan suatu bangsa. Jika ingin memenangi persaingan, inovasilah kuncinya. Kekayaan sumber daya alam dan kesuburan tanah tidak banyak membantu jika tidak dibarengi dengan karya-karya inovasi.
*) Penulis adalah Pemerhati Sosial Budaya
pojokPALU
pojokSIGI
pojokPOSO
pojokDONGGALA
pojokSULTENG
bisnisSULTENG
bmzIMAGES
rindang.ID
Akurat dan Terpecaya