JAKARTA, beritapalu.ID | Forum Sinologi Indonesia (FSI) bekerja sama dengan Paramadina Asia and Pacific Institute (PAPI) Universitas Paramadina dan Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI) menggelar seminar publik bertema “Strategi Tiongkok Mencari Pasar: Tantangan dan Peluang Bagi Indonesia” secara hybrid di Kampus Kuningan, Trinity Tower lantai 45.
Seminar menghadirkan tiga pembicara yaitu La Ode Ikrar Hastomi, Ketua Tim Program Direktorat ASDIPI Ditjen KPAII Kemenperin, Yen Yen Kuswati, Wakil Ketua Komite Tetap Konektivitas Sosial Budaya Bidang Infrastruktur KADIN, dan Mohamad Dian Revindo, Kepala Pusat Kajian Iklim Usaha FEB UI.
Direktur PAPI Dr. Peni Hanggarini dalam sambutan pembuka mengajak peserta mengingat sosok Laksamana Zheng He dalam sejarah hubungan Tiongkok dan Nusantara pada abad-15. “Dulu hubungan ini terjalin melalui pertukaran barang seperti sutra, keramik, rempah-rempah; kini berkembang menjadi kerja sama di bidang perdagangan, investasi, dan teknologi,” ujarnya.
Stephen Hwang dari IPTI menegaskan komitmen etnis Tionghoa terhadap kepentingan nasional Indonesia. “Hubungan ekonomi harus bersifat mutual—saling menguntungkan. Kita harus memastikan kerja sama ini tidak menimbulkan ketimpangan struktural,” tambahnya.
La Ode Ikrar Hastomi menyoroti kontribusi besar sektor manufaktur dalam memperkuat perekonomian nasional. “Trade balance industri manufaktur Indonesia kini mencatatkan surplus, dan kawasan industri seperti Morowali di Sulawesi Tengah berperan besar dalam transformasi menuju industri 4.0,” jelasnya.
Namun ia memaparkan kerugian dalam neraca perdagangan Indonesia-Tiongkok. “Pada 2024, ekspor Indonesia ke Tiongkok mencapai 62,44 miliar USD, sedangkan impor mencapai 72,73 miliar USD,” ujarnya, memperlihatkan kesenjangan sebesar 10 miliar USD.
Yen Yen Kuswati menyampaikan kerja sama dengan Tiongkok membawa dampak positif dalam peningkatan akses investasi, infrastruktur, ekspor, dan transfer teknologi. “Tiongkok menerapkan soft diplomacy berbasis budaya—melalui festival, kuliner, pendidikan bahasa Mandarin, hingga pertukaran pelajar,” ujarnya.
Namun ia juga menyampaikan sisi negatif. “Persaingan harga barang asal Tiongkok menekan pelaku usaha lokal, berpotensi menyebabkan ketergantungan pada impor dan defisit neraca perdagangan,” ujar Sekjen IPTI itu.
Mohamad Dian Revindo menilai keberhasilan Tiongkok didorong strategi ekonomi yang sangat disiplin. Ia menyoroti strategi Tiongkok menjaga nilai tukar mata uangnya yang relatif lemah agar produk ekspor tetap kompetitif.
Revindo juga menjelaskan Tiongkok melakukan praktik dumping dengan menetapkan harga rendah pada produk garmen, frit, lisin, dan kaca. Tantangan yang dihadapi Indonesia akibat banjir barang dari Tiongkok meliputi tekanan pada industri lokal, disrupsi tenaga kerja, ketergantungan impor, dan dominasi e-commerce asing.
“Agar Indonesia dapat bersaing, diperlukan konsistensi dalam kebijakan industri dan investasi, peningkatan kualitas SDM, serta penguatan riset dan inovasi domestik,” ujarnya.
Ketua FSI Dr. Johanes Herlijanto menyatakan ketiga pemateri telah menjawab pertanyaan mendasar tentang strategi Tiongkok mencari pasar. “Ini memperlihatkan bahwa hubungan antara Indonesia dan China masih menghadapi beberapa tantangan di tengah peluang yang ada,” ujarnya. (afd/*)
pojokPALU
pojokSIGI
pojokPOSO
pojokDONGGALA
pojokSULTENG
bisnisSULTENG
bmzIMAGES
rindang.ID
Akurat dan Terpecaya