PALU, beritapalu.ID | Kabupaten Donggala, dengan bentangan 427 kilometer garis pantai dan warisan maritim yang mengakar dalam, kini berdiri di persimpangan antara pelestarian tradisi dan tuntutan pariwisata modern.
Sebagai wilayah pesisir yang kaya akan budaya, Donggala menghadapi dilema strategis: memilih festival mana yang lebih efektif sebagai instrumen pembangunan berkelanjutan. Dua festival utama—layang-layang dan tenun—menawarkan pendekatan berbeda dalam menyeimbangkan nilai budaya, manfaat sosial, dan dampak ekonomi jangka panjang.
Catatan pojokDonggala ini mengupas perbandingan mendalam kedua festival tersebut, tidak sekadar sebagai perayaan budaya, tetapi sebagai pilihan strategis dalam merancang masa depan Kabupaten Donggala.
Festival Layang-Layang Donggala: Tradisi yang Terbang Tinggi
Di Pelabuhan Lama Banawa, langit Donggala berubah menjadi kanvas warna-warni setiap September. Festival Layang-Layang Donggala, yang konon pernah digelar pada 1990, telah bertransformasi dari komunitas kecil menjadi ajang nasional yang menarik 256 peserta dari berbagai penjuru Indonesia pada penghujung September 2025 ini.
“Layang-layang adalah bahasa langit masyarakat pesisir,” ujar Adnan Arsyad, menggambarkan bagaimana tradisi ini bukan sekadar permainan, tetapi media silaturahmi dan ekspresi kebebasan. La Ode Madi (67), pengrajin yang membuat layang-layang sejak usia 12 tahun, menyebutnya sebagai “teman angin” dan alat komunikasi masa kecil saat belum ada listrik.
Kekuatan festival ini terletak pada daya tarik visualnya yang spektakuler. Suasana meriah dan kompetitif, dipenuhi sorak-sorai anak-anak yang berlarian dan peserta yang saling bertukar teknik dari berbagai daerah.
Dukungan penuh dari KONI, KORMI, dan sponsor swasta menunjukkan viabilitas ekonomi yang menjanjikan. Festival ini juga mendorong ekosistem ekonomi lokal melalui bazar UMKM, kuliner khas seperti ikan bakar dan kaledo, serta penjualan kerajinan laut.
Namun, di balik gemerlap visual tersebut, festival layang-layang menghadapi tantangan substansial. Sifatnya yang musiman dan kompetitif memberikan ruang terbatas untuk edukasi budaya mendalam. “Anak sekarang lebih suka layar daripada langit,” keluh La Ode Madi, mencerminkan kekhawatiran akan regenerasi pengrajin.
Risiko kecelakaan—seperti kasus Abd Karim—dan dampak ekonomi yang kurang langsung terhadap UMKM lokal menjadi catatan penting dalam evaluasi festival ini.
Festival Tenun Donggala: Menenun Identitas dan Ekonomi Lokal
Berbeda dengan hiruk-pikuk festival layang-layang, Festival Tenun Donggala menghadirkan atmosfer yang hangat dan kontemplatif. Di aula adat dan rumah tenun komunitas, aroma pewarna alami berpadu dengan suara lembut alat tenun, menciptakan pengalaman yang lebih intim dan mendalam.
Tenun Donggala bukan sekadar kerajinan, tetapi cerminan spiritualitas dan kearifan lokal. Ibu Sitti Ramlah (58), penenun dari Desa Loli, menggambarkannya dengan indah: “Setiap benang adalah harapan. Kalau salah simpul, bisa salah makna.” Motif-motif seperti Buya Bomba, Buya Subi, dan Buya Cura bukan sekadar ornamen, tetapi “doa yang ditenun”—setiap pola memiliki makna spiritual dan sosial yang mendalam.
Festival ini menunjukkan kekuatan dalam pelestarian teknik dan regenerasi pengrajin muda. Keterlibatan aktif perempuan dan UMKM menciptakan dampak ekonomi langsung yang terukur. CSR perusahaan lokal yang menggelontorkan Rp600 juta untuk modal usaha penenun mendemonstrasikan potensi investasi berkelanjutan. Dr. Pudentia dari Asosiasi Tradisi Lisan Indonesia bahkan menilai Tenun Donggala layak masuk warisan budaya tak benda UNESCO.
Tantangan utama festival tenun terletak pada kurangnya daya tarik visual yang spektakuler dan partisipasi lintas daerah yang terbatas. Persaingan dengan hiburan modern membuat tenun dianggap “kuno” oleh sebagian generasi muda. Namun, justru di sinilah letak potensi besarnya—sebagai fondasi ekonomi kreatif yang berkelanjutan dan pemberdayaan masyarakat yang inklusif.
Perbandingan Strategis: Tradisi, Daya Tarik, dan Dampak Jangka Panjang
Dalam dimensi budaya dan tradisi, kedua festival mewakili ekspresi yang berbeda namun saling melengkapi. Layang-layang menghadirkan ekspresi maskulin, dinamis, dan terbuka—mencerminkan karakter masyarakat pesisir yang bebas dan ekspansif. Sebaliknya, tenun merepresentasikan ekspresi feminim, kontemplatif, dan mendalam—menggambarkan ketekunan dan spiritualitas yang mengakar.
Dari segi daya tarik wisata, festival layang-layang unggul dalam visual impact dan potensi viral di media digital. Kemampuannya menarik peserta lintas daerah dan menciptakan konten yang “Instagram-able” menjadikannya alat promosi yang efektif. Festival tenun, meskipun kurang spektakuler secara visual, menawarkan nilai edukasi dan pengalaman heritage yang mendalam—cocok untuk segmen wisata budaya dan ekonomi kreatif.
Dampak sosial dan ekonomi menunjukkan perbedaan signifikan. Festival layang-layang berhasil membangun citra daerah dan menarik perhatian media, namun dampak ekonomi langsungnya terbatas pada sektor jasa dan perdagangan sementara. Festival tenun, sebaliknya, menciptakan dampak ekonomi struktural melalui pemberdayaan perempuan, penguatan UMKM, dan penciptaan mata pencaharian berkelanjutan.
Pilihan Strategis: Festival Tenun sebagai Opsi Unggulan
Berdasarkan analisis mendalam terhadap berbagai aspek, Festival Tenun Donggala sebagai pilihan strategis yang lebih berkelanjutan. Argumen ini dibangun atas tiga pilar utama: keberlanjutan ekonomi, dampak sosial yang inklusif, dan potensi pelestarian budaya jangka panjang.
Keberlanjutan ekonomi festival tenun tercermin dari kemampuannya menciptakan mata pencaharian permanen bagi masyarakat, khususnya perempuan. Berbeda dengan festival layang-layang yang dampak ekonominya bersifat musiman, tenun membangun ekosistem ekonomi kreatif yang beroperasi sepanjang tahun. Proyeksi 10 tahun ke depan menunjukkan tenun berpotensi masuk warisan budaya UNESCO dan menjadi produk ekspor unggulan ke Asia dan Eropa.
Namun, ini bukan berarti festival layang-layang harus diabaikan. Strategi integratif yang optimal adalah menjadikan tenun sebagai inti pengembangan ekonomi kreatif dan pelestarian budaya, sementara layang-layang berfungsi sebagai amplifikasi naratif dan alat promosi visual yang menarik perhatian publik lebih luas.
Donggala Menenun Masa Depan
Pilihan antara festival layang-layang dan tenun bukan sekadar keputusan tentang perayaan budaya, tetapi tentang visi pembangunan jangka panjang. Donggala memiliki kesempatan langka untuk merancang festival sebagai instrumen pembangunan berkelanjutan, bukan sekadar momentum perayaan sesaat.
Melalui pendekatan yang menyeimbangkan “langit dan lantai”—antara ekspresi yang menginspirasi dan penghidupan yang memberdayakan—Donggala dapat menjadi model bagi daerah lain dalam mengintegrasikan pelestarian budaya dengan pembangunan ekonomi. Festival tenun, dengan segala potensi dan tantangannya, menawarkan jalan yang lebih solid menuju masa depan yang berkelanjutan, sementara festival layang-layang tetap berperan penting sebagai jendela promosi yang menarik dunia untuk mengenal Donggala lebih dalam.
Masa depan Donggala, seperti benang-benang dalam tenun, perlu dirajut dengan kehati-hatian, visi jangka panjang, dan komitmen terhadap nilai-nilai yang berakar dalam tradisi namun relevan dengan tuntutan zaman. (bmz)