PALU, beritapalu.ID | Pewarta Foto Indonesia (PFI) Palu menyelenggarakan diskusi jurnalistik membahas kebencanaan dan etika liputan usai membuka pameran foto “Asa di Atas Patahan”, Senin (15/9/2025) di Palu Grand Mall (PGM).
Diskusi menghadirkan dua pemateri utama yakni Jefrianto dari Komunitas Historia Sulteng dan pewarta foto ANTARA FOTO Basri Marzuki. Acara dihadiri mahasiswa berbagai kampus, komunitas fotografi, lembaga pers mahasiswa, dan sejumlah organisasi pers.
Jefrianto menekankan pentingnya belajar dari sejarah kebencanaan, khususnya di wilayah rawan seperti Palu. Ia mengingatkan bahwa sebelum bencana 28 September 2018, masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui bahwa Palu pernah dilanda tsunami.
“Hidup di atas patahan harus membuat kita paham benar di mana kita tinggal. Kalau kita tidak belajar dari sejarah, maka nasib kita bisa sama dengan para korban sebelumnya,” ujar Jefri.
Pemateri dari Komunitas Historia Sulteng ini mengapresiasi pameran foto PFI Palu sebagai upaya mengenang bencana. Menurutnya, karya foto yang ditampilkan bukan untuk menakut-nakuti, melainkan pengingat agar masyarakat selalu waspada dan siap menghadapi bencana.
“Kenapa kita gagap? Karena kita melupakan sejarah. Foto-foto karya jurnalis ini adalah catatan sejarah yang harus terus ditampilkan agar generasi berikutnya tetap waspada,” tegasnya.
Sementara Basri Marzuki membahas etika dan teknik meliput saat bencana. Pewarta foto ini menekankan bahwa liputan kebencanaan bukan sekadar penyajian informasi, melainkan harus memberi dampak besar bagi korban maupun masyarakat luas.
Ia mengingatkan beberapa aspek yang harus diperhatikan oleh setiap jurnalis foto sebelum menceburkan diri dalam peliputan kebencanaan, baik bencana alam maupun bencana social.
“Keselamatan jurnalis adah prioritas. Tidak ada berita atau foto seharga nyawa,” katanya menegaskan.
Memahami medan, jenis bencana, psikologis korban, koordinasi dengan petugas adalah hal-hal yang diingatkannya, tak terkecuali alat kelengkapan diri yang memadai sebelum turun ke lapangan, juga perbekalan dan peralatan teknis yang mungkin dibutuhkan ketika terjadi keadaan darurat.
“Liputan bencana akan bermakna ketika mampu menghadirkan empati sekaligus mendorong perhatian publik terhadap nasib para korban,” kata Basri.
Basri menyoroti masih adanya pewarta yang mengeksploitasi kesedihan secara terus menerus, bahkan menampilkan gambar tanpa persetujuan objek di ruang terbatas atau terlarang.
Ia mengingatkan ada aspek lain dari bencana yang tidak kalah menarik untuk publik ketahui dan pantas direkam sebagai karya jurnalistik. Basri berpesan agar pewarta foto tidak pernah menghilangkan martabat setiap subjek foto dalam menghasilkan karya jurnalistik. (afd/*)