PALU, beritapalu.ID | Seorang perempuan Pekerja Migran Indonesia (PMI) berinisial R asal Kabupaten Sigi yang mengalami masalah hukum di Qatar berhasil dipulangkan ke Indonesia setelah melalui proses advokasi selama empat bulan.
Penjemputan dilakukan Solidaritas Perempuan (SP) Palu bersama keluarga dan pemerintah terkait di Bandara Sis Al-Jufri, Kota Palu, Kamis (28/8/2025).
Staf Divisi Perlindungan Perempuan Buruh Migran dan Trafficking Solidaritas Perempuan Palu, Ananda Elyza M menjelaskan, R mengalami masalah hukum pada 23 Februari 2025 setelah dilaporkan majikan ke polisi dengan tuduhan mencelakai anak majikan berusia 4 tahun. Menurut keterangan teman korban, anak majikan yang memukul R sehingga ia berusaha menghindari namun anak tersebut terjatuh sendiri.
Bekerja 20 Jam Setiap Hari
R mulai bekerja di Qatar pada 16 Oktober 2022 melalui sponsor yang beralamat di Jakarta. Sejak tiba di negara penempatan, ia bekerja di rumah majikan selama 20 jam setiap hari mengerjakan pekerjaan rumah tangga, memasak, dan menjaga anak majikan.
Di 2023, R sempat pulang ke kampung halaman selama satu minggu untuk merayakan lebaran bersama keluarga di desanya, Kabupaten Sigi. Pada tahun berikutnya di Desember 2024, R pulang ke Indonesia.
Namun saat sampai di Jakarta, dia mendapatkan telepon dari majikannya memintanya untuk kembali ke Qatar untuk bekerja kembali dengan tawaran gaji. Setelah disepakati, majikannya mengirimkan uang sejumlah Rp2 juta, sehingga pada 21 Januari 2025 R kembali ke Qatar untuk melanjutkan pekerjaan.
Pada akhir Januari 2025, keluarga PMI terputus komunikasi dengan R karena handphone dan dokumen pribadinya ditahan majikan. Informasi tentang masalah hukum yang dialami baru diketahui melalui surat yang dititipkan kepada temannya yang pulang ke Kabupaten Sigi pada April 2025 lalu.
Proses Advokasi 4 Bulan
Pada 6 Mei 2025, keluarga R menghubungi SP Palu untuk membuat pengaduan kasus dan meminta pendampingan. SP Palu bersama Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan kemudian membangun koordinasi dengan BP3MI Sulawesi Tengah, Komnas HAM RI, dan PWNI-BHI.
Upaya advokasi yang dilakukan SP Palu ke berbagai instansi dan lembaga negara membuahkan hasil dengan respons pemerintah memberikan perlindungan terhadap PMI perempuan tersebut.
SP Palu menyoroti pentingnya perlindungan dan pendampingan hukum bagi PMI yang mengalami masalah hukum, korban kekerasan, dan perdagangan manusia di negara penempatan kerja.
Organisasi ini mendesak pemerintah bersama lembaga terkait melakukan pendampingan maksimal kepada perempuan korban dengan perspektif gender untuk memastikan hak, keadilan, dan perlindungan PMI sejak sebelum pemberangkatan, selama bekerja, dan setelah bekerja. (afd/*)