100 GW PLTS akan Dikelola 80 Ribu Koperasi Desa Merah Putih

JAKARTA, beritapalu.ID | Pemerintah meluncurkan rencana ambisius pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 100 Gigawatt (GW) sebagai bagian dari upaya mencapai swasembada energi dan mendorong kebangkitan ekonomi nasional.

Program ini terdiri atas 80 GW PLTS terdistribusi yang akan dikelola oleh Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) di 80.000 desa, dilengkapi 320 GWh Battery Energy Storage System (BESS), serta 20 GW PLTS terpusat.

Inisiatif ini mendukung visi Asta Cita Presiden RI Prabowo Subianto dalam memperkuat ketahanan energi dan pemerataan pembangunan, khususnya di kawasan pedesaan. Dengan potensi energi surya mencapai 3.300–20.000 GW yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, Indonesia dinilai memiliki sumber daya alam yang sangat memadai untuk mengembangkan energi terbarukan berbasis surya.

BACA JUGA:  Digelar ISEW 2024, Bahas Percepatan Transisi Energi Berkeadilan

Institute for Essential Services Reform (IESR) menyambut baik rencana tersebut. CEO IESR, Fabby Tumiwa, menilai program 100 GW PLTS merupakan langkah strategis untuk mengatasi tiga tantangan utama sekaligus: menyediakan akses listrik andal dan terjangkau bagi masyarakat desa, menggantikan ketergantungan pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), serta meningkatkan bauran energi terbarukan untuk menekan emisi gas rumah kaca.

“Jika berhasil diimplementasikan, proyek ini akan menjadi program elektrifikasi desa dan energi terbarukan terdistribusi terbesar di Asia Tenggara,” ujar Fabby, Rabu (7/8/2025).

Ia menambahkan, proyek ini juga berpotensi mendorong pertumbuhan industri fotovoltaik dalam negeri, menyerap produksi modul surya dan baterai lokal, serta menciptakan lapangan kerja hijau. Akses energi yang andal di desa diharapkan mendorong aktivitas ekonomi produktif dan pertumbuhan yang lebih inklusif.

BACA JUGA:  Gempa M8,7 Guncang Pesisir Rusia, BMKG Peringatkan Waspada Tsunami

Namun, IESR mengingatkan adanya tiga tantangan utama dalam pelaksanaan proyek. Pertama, pemilihan lokasi harus mempertimbangkan aspek geografis, kebutuhan listrik, dan kelayakan teknis-finansial. Untuk itu, keterlibatan perguruan tinggi, terutama fakultas teknik, diperlukan dalam merancang sistem PLTS yang modular dan mudah dipasang (plug and play).

Kedua, kebutuhan tenaga kerja terampil untuk konstruksi, operasi, dan perawatan PLTS-BESS masih terbatas dan tidak merata di seluruh wilayah. IESR menyarankan pemerintah segera memetakan kebutuhan tenaga kerja dan menggandeng Balai Latihan Kerja (BLK), sekolah vokasi, serta perguruan tinggi untuk melatih tenaga pemasang bersertifikat, termasuk warga lokal di sekitar lokasi proyek.

Ketiga, proyek ini membutuhkan koordinasi lintas kementerian, pemerintah daerah, dan sektor swasta. IESR menyarankan agar program ini ditetapkan sebagai Program Strategis Nasional (PSN) dan dibentuk Satuan Tugas (Satgas) yang didukung oleh Project Management Unit (PMU) profesional.

BACA JUGA:  Telkomsel Buka Kompetisi Riset Nasional 2025 bagi Mahasiswa S1

IESR juga menekankan pentingnya partisipasi aktif masyarakat desa sejak tahap perencanaan hingga pemanfaatan, dengan perlindungan hak atas tanah dan sumber daya alam. Pendekatan yang partisipatif, berbasis HAM, serta bebas korupsi harus menjadi prinsip utama pelaksanaan proyek.

Dengan pendekatan yang tepat, transisi energi melalui PLTS 100 GW diproyeksikan tidak hanya memperkuat kedaulatan energi nasional, tetapi juga berkontribusi signifikan terhadap mitigasi perubahan iklim global dan posisi Indonesia dalam transisi energi dunia, termasuk dalam komitmen Second Nationally Determined Contribution (SNDC). (afd/*)

Leave a Comment

Scroll to Top