View this post on Instagram
Malam itu, Jalan Dayodara di Kelurahan Talise Valangguni berubah menjadi lautan baki. 1.112 baki berisi makanan, kue, dan buah-buahan tersusun rapi, menanti ribuan tangan untuk menyantapnya bersama. Tanpa sekat. Tanpa memandang asal, suku, atau agama.
beritapalu.ID | “Mosangulara Mombangu Ngapa.” Kalimat dalam Bahasa Kaili itu bergema di malam pembukaan Festival 1000 Baki Salama Talise Valangguni, Kamis (16/10/2025) malam. Artinya sederhana namun dalam: menyatu dalam hamparan baki. Inilah filosofi yang mendasari tradisi unik ini—sebuah pesta rakyat yang telah menjadi identitas sekaligus kebanggaan masyarakat Talise Valangguni.
Wakil Wali Kota Palu Imelda Liliana Muhidin tiba dengan senyum. Ia bahkan menyiapkan pantun khusus dalam Bahasa Kaili untuk malam itu. “Saya masih belajar Bahasa Kaili dari Pak Doktor,” ujarnya sambil tertawa, merujuk pada Ketua Dewan Adat Kota Palu, Timudin Dg Mangero, yang duduk di barisan depan.
Pantunnya sederhana: mengajak semua berkumpul, membuka acara dengan sukacita. Tapi maknanya jauh lebih dalam—ini tentang kebersamaan, tentang menjaga tradisi yang hampir punah di tengah arus modernisasi.
Tradisi yang Nyaris 400 Tahun
Festival 1000 Baki Salama Talise Valangguni bukan sekadar acara makan bersama. Ini adalah perayaan atas tradisi yang sudah berusia ratusan tahun, tradisi yang kini dikemas menjadi iven wisata budaya modern tanpa kehilangan ruh aslinya.
Ketua Panitia Ilham menjelaskan, festival ini adalah bagian dari syukuran besar kampung—sebuah pesta rakyat yang melibatkan seluruh warga. “Konsepnya satu rumah satu baki. Semua hasil swadaya masyarakat,” katanya.
Tahun ini, terkumpul 1.112 baki. Angka itu bukan sekadar statistik. Di balik setiap baki, ada cerita tentang ibu-ibu yang bangun pagi mempersiapkan makanan, tentang bapak-bapak yang berkeliling memastikan semua warga ikut berpartisipasi, tentang anak-anak muda yang rela meluangkan waktu mengatur logistik.
“Paepulu sebagai perekat,” ujar Ilham, merujuk pada nilai gotong royong yang menjadi fondasi tradisi ini. Dalam konsep paepulu, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Semua duduk sama rata, menyantap hidangan yang sama, dalam lingkaran yang sama.
Lebih dari Rp130 Juta, Hasil Gotong Royong Murni
Timudin Dg Mangero, sang Ketua Dewan Adat, tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. Ia menghitung dengan teliti: 1.112 baki, dengan harga baki sekitar Rp61.000 dan isi senilai Rp40.000 per baki. Total kontribusi masyarakat mencapai lebih dari Rp130 juta.
“Ini uang yang keluar dari masyarakat sendiri. Tidak ada sponsor, tidak ada bantuan pemerintah untuk baki-baki ini. Murni swadaya,” tegasnya.
Angka itu, menurutnya, bukan sekadar soal materi. “Ini tentang semangat. Tentang bagaimana sebuah komunitas bisa bersatu untuk satu tujuan: melestarikan budaya dan mempererat tali persaudaraan.”
Timudin juga mengingatkan bahwa Talise Valangguni memiliki keistimewaan tersendiri. Pada 18 Juli 2023, kelurahan ini menerima penghargaan Restorasi Justice dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia—satu-satunya kelurahan di Indonesia yang mendapat penghargaan tersebut berkat peran Lembaga Adat Malengo Warna dalam menyelesaikan konflik masyarakat.
“Ini membuktikan bahwa kearifan lokal, tradisi adat, masih sangat relevan di era modern,” ujarnya.
Dari Sumpit Tradisional hingga Konser Modern
Festival 1000 Baki Salama bukan hanya tentang makan bersama. Selama tiga hari hingga 18 Oktober, Jalan Dayodara akan menjadi panggung berbagai kegiatan: jalan santai, senam massal, donor darah, bazar kuliner, pertunjukan seni dan budaya, hingga lomba sumpit—senjata tradisional yang kini menjadi bagian dari kompetisi budaya.
“Sumpit adalah alat berburu zaman dahulu. Sekarang kami angkat menjadi lomba, menjadi festival, agar tradisi ini tidak hilang,” jelas Imelda dalam sambutannya.
Ada juga konser musik yang menyasar generasi muda. Strategi cerdas panitia untuk memastikan tradisi ini tetap relevan bagi semua generasi.
Harapan untuk Kelurahan Lain
Imelda menutup sambutannya dengan harapan besar. “Saya berharap festival ini didokumentasikan dengan baik, ditaruh di media sosial kalian, sehingga kegiatan ini dapat menginspirasi kelurahan-kelurahan lain.”
Ia juga menekankan pentingnya menjaga kondisi kondusif di Kota Palu. “Mari kita jaga persatuan ini. Mari kita jaga kebersamaan ini,” ujarnya.
Saat Imelda mengucapkan “Bismillahirrahmanirrahim” dan meresmikan pembukaan festival, tepuk tangan membahana. Ribuan pasang mata memandang deretan baki di hadapan mereka. Bukan sekadar makanan. Tapi simbol persatuan.
Bersatu Kita Kuat
Timudin menutup sambutannya dengan kalimat yang mengena: “Bersatu kita kuat, bersama-sama kita kokoh.”
Di tengah hiruk-pikuk modernisasi, di tengah ancaman lunturnya nilai-nilai tradisional, Talise Valangguni membuktikan bahwa tradisi bisa tetap hidup—bahkan berkembang—jika dijaga dengan sungguh-sungguh.
1.112 baki salama itu bukan hanya tentang makanan. Ia tentang identitas, tentang kebanggaan, tentang cara sebuah komunitas mengatakan: kami ada, kami hidup, dan kami akan terus menjaga warisan leluhur kami.
Mosangulara Mombangu Ngapa. Menyatu dalam lingkaran baki. Menyatu dalam persaudaraan. ***