PALU, beritapalu.ID | Pewarta Foto Indonesia (PFI) Palu menggelar pameran foto jurnalistik bertajuk “Asa di Atas Patahan” untuk mengenang tujuh tahun bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi yang melanda Palu, Sigi, dan Donggala pada September 2018.
Pameran yang berlangsung 15-17 September 2025 di Palu Grand Mall (PGM) ini menampilkan 60 karya foto jurnalistik dari 25 pewarta foto, baik dari dalam maupun luar negeri. Pameran itu terbuka untuk umum dan gratis.

Ketua PFI Palu Muhammad Rifki menjelaskan, pameran tahun ini mengambil sudut pandang berbeda dari sebelumnya. Jika pameran sebelumnya banyak menyoroti kesedihan akibat bencana, karya-karya kali ini lebih menekankan pada semangat bangkit dan harapan baru.
“Asa di Atas Patahan dipilih sebagai simbol ketangguhan masyarakat Sulawesi Tengah, khususnya Kota Palu, yang terus berjuang dan menjalani kehidupan pascabencana,” ujar Rifki, Senin (15/9/2025).
Rifki menegaskan pameran ini bukan sekadar mengenang tragedi, tetapi juga menjadi ruang refleksi dan momentum untuk memiliki harapan baru meski tumbuh di atas patahan atau wilayah rawan bencana.
Pameran ini digelar secara partisipatif dengan mengundang pewarta dan fotografer dari berbagai negara, khususnya Malaysia, untuk menampilkan karya-karya terbaik mereka.

Kurator PFI Palu Basri Marzuki menyampaikan bahwa pameran ini menjadi wadah pengembangan foto jurnalistik di tanah air sekaligus momentum evaluasi bagi pewarta foto terhadap karya yang dihasilkan saat bencana alam atau non alam terjadi.
“Kita hadir disini untuk membuka ingatan, merawat pengalaman, dan menyelami makna di balik sebuah peristiwa besar yang pernah mengguncang tanah ini. Tujuh tahun lalu, gempa, tsunami, dan likuefaksi meluluhlantakkan Palu, Donggala, dan Sigi. Luka itu dalam, kehilangan itu nyata. Namun di atas patahan itu, lahirlah kekuatan, solidaritas, dan harapan,” kata Basri Marzuki.
Ia menyebut, tema pameran ini mengingatkan bahwa bencana tidak hanya meninggalkan puing, tapi juga menyingkap daya tahan manusia. Foto-foto yang dipamerkan tidak dimaksudkan untuk menambah derita, melainkan untuk memperlihatkan wajah-wajah yang tetap tegak, tangan-tangan yang saling menggenggam, serta langkah-langkah kecil yang terus berjalan meski jalan penuh retakan.

Ia percaya, gambar bukan sekadar dokumentasi, lebih dari itu adalah catatan sejarah, ia adalah suara yang abadi, dan ia adalah pengingat agar tidak abai.
“Dari setiap bingkai, kita belajar bahwa membangun kembali bukan hanya soal beton dan bangunan, tapi juga tentang merajut kembali keberanian dan keyakinan,” tambah pria yang akrab disapa Be Em Zet ini.
Ia berharap pameran ini menjadi ruang refleksi bagi semua, terutama jurnalis foto agar lebih peduli, lebih siap, dan lebih kuat menghadapi bencana. Dan pada saat yang sama, pameran ini juga menjadi sumber inspirasi: bahwa dari reruntuhan, manusia bisa tumbuh dengan lebih tabah, lebih peduli, dan lebih berpengharapan.
Pewarta foto Kantor Berita ANTARA ini menambahkan ada hal-hal lain yang tidak kalah menarik dari sisi lain bencana yang pantas direkam sebagai karya jurnalistik. Ia berpesan agar pewarta foto tidak pernah menghilangkan martabat pada setiap subjek foto dalam menghasilkan karya foto jurnalistik. (afd/*)