Palu Membuktikan Diri sebagai Kota yang Mampu Menjadi Teladan dalam Berdemokrasi
PALU, beritapalu.ID | Gerimis membasahi aspal Jalan Dr. Sam Ratulangi pada Palu pada Senin (1/9/2025) siang. Namun setetes demi setetes air hujan tak mampu meredam semangat ribuan mahasiswa yang berbondong-bondong menuju halaman DPRD Provinsi Sulawesi Tengah. Sejak pukul 10.30 WITA, gelombang demi gelombang anak muda dengan jaket almamater berwarna-warni mulai memenuhi ruang terbuka di depan gedung legislatif daerah.
Ini bukan pemandangan yang asing di Indonesia. Aksi mahasiswa sudah menjadi bagian dari catatan sejarah demokrasi negeri ini. Namun yang terjadi di Palu pada 1 September 2025 itu memiliki cita rasa berbeda—sebuah harmoni antara penyampaian aspirasi dan kedewasaan berdemokrasi yang langka ditemui.
Pickup, Orasi, dan Yel-yel Perjuangan
Di tengah kerumunan mahasiswa yang semakin membludak, sebuah kendaraan pickup menjadi pusat perhatian. Kendaraan sederhana itu disulap menjadi mimbar rakyat, tempat di mana suara-suara muda bergema menyampaikan aspirasi mereka.
“Hidup mahasiswa!” teriak seorang orator dari atas bak pickup. Suaranya menggema, disambut sahutan ribuan suara lainnya yang bergema di sepanjang jalan protokol itu.
Tak hanya mahasiswa, pengemudi ojek online juga turut meramaikan aksi. Mereka bergantian naik ke atas pickup, menyuarakan keluh kesah dan harapan dari sudut pandang pekerja sektor informal yang merasakan langsung dampak berbagai kebijakan pemerintah. Duka mereka atas wafatnya Affan Kurniawan, salah seorang rekan mereka menjadi penyemangat melawan gerimis yang tak berhenti.
Sementara itu, di kerumunan massa, yel-yel tuntutan terus berkumandang. Suara-suara itu bukan sekadar teriakan amarah, melainkan ekspresi demokrasi yang tertata, terorganisir, dan penuh makna. Setiap kata yang dilontarkan adalah cerminan dari kegelisahan sekaligus harapan terhadap masa depan yang lebih baik.
Gesture Politik yang Tak Terduga
Yang membuat aksi kali ini istimewa adalah respons para pejabat daerah. Alih-alih bersembunyi di balik tembok kantor atau mengirim utusan, para petinggi Forkopimda Sulteng justru turun langsung menemui massa aksi.
Pemandangan yang tak lazim pun terjadi. Gubernur Sulteng Anwar Hafid, Ketua DPRD Sulteng Arus Abd. Karim, Danrem 132 Tadulako Brigjen TNI Deni Gunawan, Wakapolda Brigjen Pol. Helmi Kwarta Kusuma Putra Rauf, Walikota Palu Hadianto Rasyid, hingga mantan Gubernur Rusdi Mastura—semua duduk bersila di atas rumput basah.
Gesture sederhana itu mengandung pesan politik yang mendalam. Tidak ada jarak, tidak ada sekat, tidak ada arogansi kekuasaan. Yang ada adalah kesediaan untuk duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, mendengarkan aspirasi rakyat dengan hati terbuka.
“Ini bukan sekadar formalitas,” bisik seorang mahasiswa semester akhir yang menyaksikan pemandangan itu. “Mereka benar-benar mau mendengar.”
Apresiasi yang Tulus
Ketika aksi mulai mereda dan massa bersiap membubarkan diri, Wakapolda Brigjen Pol. Helmi Kwarta memanfaatkan momentum untuk berinteraksi lebih dekat dengan para mahasiswa. Dalam situasi seperti ini, biasanya pejabat akan berbicara dengan nada formal dan jaga jarak. Namun Helmi Kwarta memilih pendekatan yang berbeda.
“Terima kasih, saya jempol. Tadinya saya sempat khawatir, ada yang ingin membuat menyala seperti kampungnya orang itu,” ucapnya dengan jujur di hadapan mahasiswa.
Kejujuran ini langka dalam panggung politik Indonesia. Seorang pejabat yang mengaku sempat khawatir, yang tidak malu menyampaikan kegelisahannya, sekaligus memberikan apresiasi tulus atas kedewasaan yang ditunjukkan massa aksi.
Helmi Kwarta kemudian melanjutkan dengan nada bangga, “Hai aparat dari tempat lain, mahasiswa dari tempat lain, masyarakat dari tempat lain. Contoh di Kota Palu.”
Kalimat sederhana itu mengandung kebanggan sekaligus tantangan. Palu telah membuktikan bahwa demokrasi tidak harus identik dengan chaos, bahwa aspirasi bisa disampaikan tanpa kekerasan, bahwa perbedaan pendapat bisa diselesaikan dengan dialog.
Foto Bersama, Simbolisme Persatuan
Puncak aksi ditutup dengan pemandangan yang hangat dan humanis. Wakapolda dengan antusias mendatangi kelompok-kelompok mahasiswa, menyalami satu per satu, dan berfoto bersama. Tidak ada protokoler yang kaku, tidak ada jaga jarak yang berlebihan.
Foto-foto itu kemudian akan menjadi dokumentasi berharga—bukti bahwa di suatu siang di Palu, aspirasi rakyat bertemu dengan keterbukaan pemimpin. Bahwa demo dan pejabat bisa berdampingan tanpa saling curiga.
Seorang mahasiswa yang sempat berfoto dengan Wakapolda kemudian berkata, “Ini baru pemimpin. Tidak takut dengan rakyatnya sendiri.”
Cermin Demokrasi yang Matang
Aksi 1 September 2025 di DPRD Sulteng menjadi cermin bagaimana demokrasi seharusnya berjalan. Tidak ada yang dirugikan, tidak ada yang disakiti, tidak ada property yang rusak. Yang ada adalah dialog, pengertian, dan saling menghormati.
Gerimis yang membasahi Palu siang itu seolah menjadi saksi bahwa demokrasi Indonesia masih punya harapan. Di tengah polarisasi politik yang semakin tajam di berbagai daerah, Palu membuktikan bahwa ada cara lain untuk menyampaikan aspirasi—dengan damai, bermartabat, dan tetap menjaga persatuan.
Ketika aksi berakhir dan massa mulai berpencar, halaman DPRD kembali sepi. Yang tersisa hanya rumput basah bekas tempat duduk para pejabat dan beberapa sampah yang dengan sigap dibersihkan petugas kebersihan.
Namun yang tidak akan pernah hilang adalah memori kolektif tentang sebuah siang di Palu, ketika aspirasi mahasiswa bertemu dengan kedewasaan berdemokrasi. Sebuah pelajaran berharga bahwa Indonesia masih bisa berharap pada generasi muda yang cerdas dan pemimpin yang mau mendengar.
Dan gerimis itu, mungkin adalah berkat untuk sebuah kota yang tujuh tahun lalu porak-poranda akibat bencana. Kota Palu membuktikan diri sebagai teladan demokrasi yang sesungguhnya. (bmz)