Kodam XXII/Mahawira yang Dinanti

Oleh: Jafar G Bua*
Jafar G Bua.
Jafar G. Bua

Pembentukan Kodam XXII/Mahawira, yang membawahi wilayah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat, adalah keputusan yang secara militer sungguh masuk akal, secara politik itu adalah keputusan cerdas, dan secara sosial bisa disebut cukup berani.

Setelah sekian lama dua wilayah ini “digilir” antara Kodam XIV/Hasanuddin, sebelumnya adalah Kodam VII/Wirabuana (berbasis di Makassar, Sulawesi Selatan) dan Kodam XIII/Merdeka (berbasis di Manado, Sulawesi Utara), akhirnya keduanya mendapatkan struktur Komando Utama (Kotama) sendiri, di kampung halamannya sendiri.

Langkah ini bukan hanya soal restrukturisasi militer. Ia adalah bentuk konkret dari kehadiran negara langsung dalam wajah Komando Utama (Kotama) di wilayah yang selama ini sering diperlakukan sebagai halaman belakang. Dianggap tidak terlalu penting. Sehingga berdampak pada minimnya atau bahkan nyaris tiada, putra-putri asli daerah yang masuk ke Akademi Militer.

Mari kita simak dampaknya dari tiga sisi: sosial, politik, dan ekonomi.

Dampak  Sosial

Sulteng dan Sulbar bukan daerah sembarangan. Dalam dua dekade terakhir, kawasan ini adalah episentrum dari berbagai jenis gejolak: konflik komunal, terorisme, separatisme lunak, bencana alam, dan tentu saja kemiskinan struktural.

Poso, Palu, Sigi, dan sekitarnya pernah menjadi laboratorium bagi kekerasan sektarian yang tak kalah menjadi momok selain dari Ambon atau Maluku Utara. Di Mamasa dan Polewali, dinamika etno-kultural antara penduduk asli dan pendatang juga bukan hal yang bisa dianggap sepele.

Dalam konteks ini, kehadiran Kodam Mahawira seharusnya membawa satu hal: kepastian kehadiran negara dalam bentuk Kotama. Bukan hanya sebagai konsep administratif, tapi sebagai entitas nyata yang bisa diakses, diajak bicara, bahkan—jika perlu—diprotes bila keliru.

Kita tahu, tidak ada masyarakat yang benar-benar bisa merasa aman tanpa hadirnya otoritas yang cukup dekat untuk mengerti, tapi cukup jauh untuk tidak mencampuri urusan sehari-hari. Kodam Mahawira punya potensi untuk memainkan peran itu.

Asal satu hal penting dijaga: jangan sekali-kali tergoda mengulang kesalahan lama, di mana militer terlalu sering melampaui batas sipil dan masuk terlalu dalam ke dapur bahkan ruang tidur rakyat.

Dampak Politik

Jangan lupa, militer di Indonesia adalah aktor politik, meski sejak reformasi 1998 perannya sudah sangat dikurangi. Tapi struktur teritorial TNI, termasuk keberadaan kodam, tetap menjadi bagian dari struktur kekuasaan de facto. Artinya, kehadiran Kodam Mahawira otomatis menciptakan satu “kutub kekuasaan” baru di Sulawesi bagian tengah.

Ini hal yang baik, justru karena membuat distribusi kekuasaan lebih merata. Tidak semua harus bertumpu di Makassar atau Manado.

Selama ini, hubungan antara elite lokal di Palu atau Mamuju dengan panglima militer regional terasa timpang. Karena pusat komando jauh, maka pengambilan keputusan sering kali tidak mempertimbangkan kompleksitas lokal. Kodam Mahawira memotong jarak itu. Sekarang, keputusan soal penanganan konflik, stabilitas daerah, hingga penanggulangan bencana bisa dilakukan lebih cepat dan relevan.

Ini juga secara langsung meningkatkan kapasitas negosiasi pemerintah daerah dengan pusat. Gubernur Sulawesi Tengah atau Sulbar kini punya mitra setara dalam hal keamanan dan pertahanan—bukan hanya menjadi penerima instruksi dari Makassar atau Manado.

Dampak Ekonomi

Pembangunan markas besar Kodam, fasilitas pendukung, serta kebutuhan logistik akan menciptakan efek berantai yang signifikan. Investasi awalnya bisa mencapai triliunan rupiah, baik dari APBN maupun kerja sama pengadaan dengan pihak swasta.

Yang paling terasa adalah penciptaan lapangan kerja dan geliat ekonomi mikro. Warung makan, penyedia jasa konstruksi lokal, toko bahan bangunan, kontraktor, bahkan pemilik rumah kos akan kecipratan rezeki. Kota Palu dan sekitarnya akan mengalami ledakan ekonomi kecil dalam 5–10 tahun pertama.

Tentu, dampaknya tidak akan merata. Di setiap proyek infrastruktur militer, selalu ada risiko penumpukan keuntungan di tangan segelintir pengusaha yang punya koneksi. Tapi jika tata kelola dan transparansi dijaga, pembangunan ini akan menciptakan efek domino yang positif.

Yang juga penting: kehadiran Kodam baru akan meningkatkan rasa aman bagi investor. Salah satu hambatan utama investasi di Sulawesi Tengah dan Barat adalah citra keamanan yang belum stabil. Dengan adanya otoritas militer permanen yang bisa menjamin respons cepat terhadap gangguan, maka persepsi itu akan perlahan berubah.

Beberapa Catatan

Pertama, jangan sampai Kodam Mahawira hanya menjadi semacam panggung baru bagi para perwira tinggi yang ingin “naik pangkat” atau berharap “barakah/kaddo minyak” sebelum pensiun. Kita butuh komandan yang punya rekam jejak baik, bukan sekadar pengisi pos kosong.

Kedua, jangan sampai proyek ini jadi alasan untuk membuka peluang bisnis gelap: mark-up pengadaan, penguasaan lahan rakyat untuk kepentingan militer, atau konflik agraria baru. Kasus-kasus seperti itu sudah terlalu banyak dan terlalu lama dibiarkan.

Ketiga, relasi antara militer dan masyarakat sipil harus dibangun dengan paradigma baru: transparan, profesional, dan tidak mencampuri urusan politik lokal secara vulgar.

Kita semua sudah sepakat sejak 1998: tentara bukan alat kekuasaan politik. Tapi itu hanya akan berlaku jika internal TNI juga menjaga diri dari godaan ikut bermain dalam politik praktis di daerah.

Mengapa Mahawira, bukan Tadulako?

Nama ini pilihan yang bagus. Tidak mengacu pada tokoh lokal tertentu, sehingga tak memicu friksi antar-etnis atau antar-daerah. “Mahawira” adalah nama universal, yang bermakna “ksatria agung”—dan itu cukup netral untuk semua komunitas di Sulawesi. Mengapa bukan Tadulako? Rupanya, Korem 132/Tadulako akan tetap ada. Meski nantinya akan bergeser tempat meminjam Markas Kodim 1306/Kota Palu, menunggu rampungnya bangunan markas baru Kodam XXII/Mahariwa. Sementara, Kodim 1306/Kota Palu akan pindah sementara di Markas Koramil 1306-16/Palu Timur.

Semoga Mahawira bisa jadi simbol pemersatu. Asal isinya seiringan dengan namanya.

Kalau Mahawira nanti justru melanggengkan feodalisme militer yang kita kenal dari masa lalu, senang dihormati tapi malas mendengar, senang pawai tapi takut transparansi, maka nama sebesar apa pun tidak akan berarti. Tapi kalau Mahawira bisa menjadi pelindung yang efektif dan mitra yang setara bagi rakyat, maka kita sedang menyaksikan satu babak kematangan negara hadir di kawasan yang selama ini terlalu lama berada di pinggir panggung.

Dan itu, harusnya kita sambut baik. Tak mesti nyinyir ala pendengung di media-media sosial itu. ***

* Jafar G Bua adalah eks Staf Khusus Pangdam V/Brawijaya 2022-2023, Mayjen TNI Dr. Farid Makruf, MA, dan sekarang Tenaga Ahli Anggota DPR RI

**Catatan: Barakah/Kaddo Minyak adalah makanan yang dibawah warga pulang ke rumah setelah hajatan tertentu di Sulawesi

Leave a Comment

Scroll to Top