875 Warga Gaza Tewas Saat Mencari Makanan dalam Beberapa Pekan Terakhir

GAZA, beritapalu | Sebanyak 875 warga Gaza yang putus asa dan kelaparan dilaporkan tewas dalam beberapa pekan terakhir saat mencoba mencari makanan. Mayoritas korban tewas berada di sekitar pusat distribusi bantuan yang dikelola oleh lembaga swasta bernama Gaza Humanitarian Foundation (GHF), menurut laporan Kantor Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR), Selasa (15/7/2025).
“Per 13 Juli, kami mencatat 875 orang tewas di Gaza saat berupaya mendapatkan makanan. Sebanyak 674 di antaranya meninggal di sekitar lokasi GHF,” ujar juru bicara OHCHR, Thameen Al-Kheetan, merujuk pada lembaga yang dijalankan oleh pihak AS dan Israel itu, yang menyalurkan bantuan secara terpisah dari operasi kemanusiaan resmi.
Sisa korban lainnya, sebanyak 201 orang, tewas saat berusaha mencari makanan di sekitar rute konvoi bantuan PBB atau mitra-mitranya yang masih beroperasi di wilayah yang hancur akibat perang tersebut, lanjut Al-Kheetan dalam konferensi pers di Jenewa.
Rangkaian insiden mematikan terkait distribusi bantuan oleh GHF mulai terjadi tidak lama setelah lembaga tersebut mulai beroperasi di Gaza bagian selatan pada 27 Mei lalu, menyingkirkan jalur distribusi resmi PBB dan LSM kemanusiaan lainnya.
Insiden terbaru terjadi pada Senin pagi, 14 Juli, sekitar pukul 09.00 waktu setempat. Saat itu, tentara Israel dilaporkan menembaki warga Palestina yang sedang mengantre bantuan di lokasi GHF di daerah As Shakoush, barat laut Rafah.
Menurut OHCHR, dua warga Palestina tewas dan sedikitnya sembilan lainnya terluka. Sebagian korban luka dilarikan ke rumah sakit milik Palang Merah Internasional (ICRC) di Rafah. Pada Sabtu sebelumnya, rumah sakit tersebut menerima lebih dari 130 pasien, yang mayoritas menderita luka tembak. Pasien-pasien ini mengaku sedang berusaha menuju lokasi distribusi makanan saat tertembak.
Kelaparan yang Mematikan
Badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) menyampaikan keprihatinan mendalam atas terus terjadinya pembunuhan terhadap warga sipil yang sedang mencari makanan. Sementara kondisi malnutrisi di Gaza semakin parah dan mengancam banyak jiwa, khususnya anak-anak.
“Tim kami di lapangan, baik dari UNRWA maupun dari badan PBB lainnya, telah berbicara langsung dengan para korban yang selamat, termasuk anak-anak kelaparan yang ditembaki saat hendak mengambil makanan,” kata Juliette Touma, Direktur Komunikasi UNRWA, dalam pernyataan lewat video dari Amman.
Touma menegaskan bahwa blokade total yang diberlakukan Israel telah menyebabkan bayi-bayi di Gaza meninggal akibat gizi buruk akut.
“Kami telah dilarang membawa bantuan kemanusiaan ke Gaza selama lebih dari empat bulan,” katanya. Ia juga menyoroti adanya peningkatan drastis kasus malnutrisi anak sejak blokade diberlakukan pada 2 Maret.
“Ada 6.000 truk bantuan kami yang tertahan di tempat-tempat seperti Mesir dan Yordania. Padahal dari Yordania ke Gaza hanya perlu waktu tiga jam berkendara, bukan?” lanjutnya.
Selain membawa bahan makanan, truk-truk bantuan itu juga mengangkut perlengkapan dasar seperti sabun dan obat-obatan. “Obat dan makanan itu bisa kedaluwarsa jika tidak segera disalurkan kepada masyarakat Gaza, khususnya pada satu juta anak yang merupakan separuh dari populasi di Jalur Gaza,” tambah Touma.
Tepi Barat (West Bank): ‘Perang Sunyi yang Mengganas’
Sementara itu, di wilayah Tepi Barat yang diduduki, termasuk di daerah Yerusalem Timur, kekerasan terhadap warga Palestina juga terus terjadi, yang diduga melibatkan pemukim Israel dan pasukan keamanan.
Menurut OHCHR, seorang anak perempuan berusia dua tahun bernama Laila Khatib tewas tertembak di kepala oleh pasukan keamanan Israel pada 25 Januari saat berada di dalam rumahnya di Desa Ash-Shuhada, Jenin.
Pada 3 Juli lalu, seorang pria berusia 61 tahun, Walid Badir, dilaporkan tewas ditembak saat sedang bersepeda pulang dari salat. Peristiwa itu terjadi di pinggiran kamp pengungsi Nur Shams.
OHCHR mencatat adanya peningkatan tajam dalam pembunuhan, penyerangan, dan pelecehan terhadap warga Palestina dalam beberapa pekan terakhir. Ini termasuk penghancuran ratusan rumah dan pengusiran massal yang memaksa sekitar 30.000 warga Palestina meninggalkan tempat tinggalnya sejak dimulainya operasi militer Israel yang disebut “Tembok Besi” di wilayah utara Tepi Barat awal tahun ini.
“Dalam hukum internasional sudah sangat jelas bahwa okupasi militer tidak boleh menyebabkan perubahan demografi permanen di wilayah yang didudukinya. Tindakan seperti itu bisa dikategorikan sebagai kejahatan perang dan bentuk pembersihan etnis,” ujar Al-Kheetan.
Touma dari UNRWA menambahkan, “Kami menyaksikan perang sunyi yang terus memburuk. Pembatasan gerak sangat ketat, warga terputus dari sumber penghasilan, kemiskinan meningkat, dan pengangguran meroket.”
Operasi militer Israel saat ini yang fokus pada wilayah utara Tepi Barat telah berdampak pada kamp pengungsi Jenin, Tulkarem, dan Nur Shams.
“Situasi ini menyebabkan pengungsian terbesar warga Palestina di Tepi Barat sejak tahun 1967,” ujar Touma. (bmz/*)